Sengketa Akal Sehat

Sengketa Akal Sehat

Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir, S.Ag. M.H., Kakan Kemenag Anambas

Istilah sengketa akal sehat belum ditemukan dalam jurnal ataupun dalam daftar buku-buku referensi ilmiah. Istilah ini hanyalah sebuah refleksi akibat maraknya forum debat dan opini intelektual di media sosial akibat isu-isu yang berkembang akhir-akhir ini.

Isu-isu tersebut sangat bervariasi, ada yang bernuansa politik, ekonomi, budaya, agama, dan ada pula yang bernuansa privat seperti isu ijazah palsu Jokowi. Isu yang terakhir ini nyaris menyebabkan ruang publik menjadi gaduh dengan ocehan, kekesalan, dan sedikit sekali harapan.

Hiruk pikuknya perdebatan ijazah palsu Jokowi setidaknya memberikan kesan kepada warga net bahwa perjalanan politik bangsa ini penuh dengan liku-liku dan sengketa tanpa akhir. Dimana awal dan dimana akhir tak kunjung ditemukan simpulnya. Kondisi ini bisa jadi menyimpan blindspot, sebuah lubang dalam kegelapan demokrasi yang bisa membuat kita terjatuh masuk ke jurang malapetaka.

Kebingungan persepsi warga net terus berkembang dan melebar kemana-mana. Namun yang kita khawatirkan adalah jika masuk kedalam tatanan politik dan budaya sehingga mengganggu stabilitas sosial kehidupan berbangsa dan beragama.

Disamping itu, kebingungan warga net tidak sampai disitu tetapi juga melebar kedalam perdebatan yang lain seperti isu pemakzulan Wapres, Gibran Rakabuming Raka, pemberantasan korupsi yang tak kunjung tuntas dan sederetan kriminalitas atau kejahatan sosial lainnya yang terus menghadang. Mungkin inilah keunikan bangsa yang sedang memasuki usia dewasa tapi masih terasa terjajah, begitu kata sang penyair.

Seluruh potensi sumberdaya intelektual tampil memberikan pendapat dan argumentasi di mimbarnyanya masing-masing. Sehingga perangkat media social dibanjiri oleh guyuran informasi yang berseliweran. Ditambah lagi oleh dorongan kebesan Hak Azazi Manusia yang semakin terbuka lebar. Akibatnya panggung demokrasi dalam sistem komunikasi publik nyaris hangat dan terus memanas.

Setiap topik yang muncul di media sosial secara konsisten menarik berbagai sudut pandang yang beragam dari setiap pengguna platform jejaring sosial. Dalam bidang pendidikan, misalnya, sudut pandang muncul sebagai kritik terhadap kebijakan pemerintah tentang pendidikan. Dalam bidang ekonomi, sudut pandang berwujud sebagai kritik terhadap para profesional ekonomi dan bagi pembuat kebijakan. Setiap sudut pandang dianggap sebagai dasar yang paling benar untuk menetapkan kebijakan dalam penyelesaian masalah baik nasional maupun global, baik dalam masalah politik berbangsa maupun beragama.

Nah, apa sebenarnya yang diinginkan mereka? Jawabannya tentu saja sangat kompleks, karena pertimbangan kehidupan global saat ini jauh lebih rumit dan sulit. Untuk sekedar memperkecil atau bisa jadi memperbesar sengketa akal sehat, artikel ini menawarkan satu jawaban yaitu dengan memperjelas makna hidup, baik hidup berbangsa maupun beragama. Ulasan inipun hanyalah sekedar refleksi spiritual dalam akal sehat.

Makna hidup dalam beragama adalah pondasi seluruh makna kehidupan, sebab agama bukan hanya sekedar identitas yang melekat pada diri manusia tetapi juga simbol keberadaan dirinya sebagai hamba Allah SWT. Dalam makna ini hidup adalah anugerah yang wajib disyukuri bukan dikufuri, sebab itu hidup memiliki tujuan yang jelas dengan landasan spiritual.

Di dalamnya terdapat eksistensi yang hakiki dari kehidupan itu sendiri.

Dalam eksistensi spiritual, manusia tidak hanya mengejar makna hidup yang sementara, tetapi juga makna hidup yang kekal dan abadi. Makna abadi diperoleh melalui kesadaran spiritual. Dengan kesadaran ini, hidup menjadi bermakna karena ia merepresentasikan sebuah perjalanan dan pencarian makna yang berkelanjutan, sekaligus menjadi anugerah dan amanah dari Tuhan.

Dengan kesadaran religius (baca: spiritual), makna hidup dipersepsikan lebih indah dan terarah. Sehingga kekuatan akal sehat (akal budi), yang dipandukan dengan kesadaran spiritual seperti hati nurani dan iman, akan menawarkan pandangan yang lebih luas dan luhur tentang kehidupan yang bermakna (meaningful life).

Kecerdasan akal manusia memang luar biasa, tetapi tanpa wawasan spiritual, mengungkap kebenaran menjadi tantangan yang tidak pasti. Siapa yang tidak ingin senang dan sukses, kecuali mereka yang tidak memiliki rasa kepemilikan dan dorongan dalam hidup? Ini adalah bagian dari kodrat manusia, karena manusia diciptakan dengan beragam keinginan dan kemauan.

Agama hadir untuk memberikan petujuk dan memperjelas kebenaran, memungkinkan kehendak dan rasa memiliki diarahkan oleh akal. Dari sana, manusia dapat memilih dan membedakan antara yang benar dan yang salah. Sebagaimana do’a yang sangat populer dalam islam “Ya Allah tunjukilah kami yang benar itu benar berikan kekuatan untuk melakukannya, dan tunjukilah kami yangsalah itu salah berika kekuatan untuk menghindarinya”.

Sejauh mana kita mampu melaksanakan kebenaran dan sejauh mana kita mampu menghindari kesalahan sangat tergantung dari kuatan akal sehat. Itulah sebabnya Allah swt, menjadikan agama ini bagi orang yang berakal. Semakin kuat bimbingan agama semakin sehat akal manusia itu.

Akal sehat memberdayakan seseorang untuk mengartikulasikan makna hidup jika mereka dapat menghindari kesalahan dan berpegang teguh pada kebenaran. Kedua sifat ini akan meningkatkan pemahaman akan makna hidup. Menghindari kesalahan dan berpegang teguh pada kebenaran tidak cukup untuk melatih akal sehat. Logika dapat berbenturan dengan emosi batin. Situasi ini disebut sebagai konflik akal. Konflik akal muncul ketika kesadaran rasional berbenturan dengan kesadaran spiritual. Secara psikologis hal ini sangat membahayakan seseorang, sementara sengketa akal sehat membahayakan kehidupan sosial.

Belakangan ini, dinamika sosial masyarakat kita sangat dipengaruhi oleh banyaknya peristiwa kriminalisasi, sehingga banyak akal sehat yang tertipu. Membedakan yang benar dan yang salah sangat sulit dan menjadi tantangan tersendiri. Akibatnya, kehidupan di planet bumi ini terasa tidak nyaman karena banyak manusia cerdas di sekitar kita telah melupakan tujuan hidup dan tidak memahami makna hidup. Mereka hanya mengkarakterisasikan hidup dalam konteks kesenangan.

Dalam keberadaan ini, mereka hanya memiliki kesadaran rasional, tanpa kesadaran spiritual. Bagi mereka, tujuan hidup ditemukan dalam memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis melalui penalaran logis. Sehingga apa yang mereka peroleh tidak memiliki landasan spiritual yang kokoh dan tidak dapat diandalkan. Akibatnya, rasa puas mereka tidak pernah berakhir, dan mereka terus-menerus mencari sumber pemenuhan alternatif.

Di sinilah pentingnya menemukan makna kehidupan melalui refleksi spiritual. Hidup terasa hampa dan tak berharga tanpa makna. Akhirnya hidup seperti apa yang dikatakan Hobbes, “Hidup hanya digerakan oleh motif avoiding the pain, searching for the pleasure, hidup hanyalah menghindari rasa sakit, mencari kesenangan. Hidup seperti ini tak obahnya seperti hidup dalam level hewani yang hanya digerakan oleh dorongan emosi dan insting.

Hidup dilevel hewani tentu sangat merugikan dan bahkan dapat menjatuhkan derajat dan martabat kemanusiaan. Sebab itu agama turun mendidik akal manusia untuk membimbing manusia ke derajat yang lebih tinggi dan muliya. Manusia diberikan peluang yang lebar untuk berusaha mencapai derajat muliya tersebut. Manusia harus mampu naik ke tingkat tataran dan gelombang hidup yang lebih rasional dan spiritual.

Manusia memiliki martabat yang luhur berkat pendidikan dan keimanan. Kedua unsur ini dapat meningkatkan martabat manusia ke tingkat kemanusiaan dan spiritualitas yang lebih tinggi. Namun, kecerdasan dan pendidikan seseorang tidak menjamin kebijaksanaan dan kearifan kecuali jika mereka mengembangkan praktik berpikir, mengartikulasikan, dan berperilaku secara tepat dan logis, alih-alih sekadar mencari kesenangan.

Berbicara jujur didorong oleh spiritualitas yang mendalam, sementara berperilaku logis dipandu oleh kekuatan akal sehat. Oleh karena itu, ketika kita menyaksikan sengketa akal sehat di platform sosial yang melibatkan politisi, ekonom, pendidik, pejabat, perusahaan, dan lainnya, terkadang terlihat jelas bahwa beberapa dari mereka kesulitan mengelola emosi dan ego mereka. Ketika ego mereka sedikit terpancing, perasaan mereka langsung tersulut. Mereka mengabaikan fakta bahwa mereka sedang berbicara di depan publik, meskipun mereka adalah cendekiawan, tokoh masyarakat, atau memegang peran lain. Situasi ini bermula dari perselisihan yang didasarkan pada akal sehat, tanpa dukungan prinsip-prinsip etika agama.

Untuk mengatasi hal ini, kita mungkin memerlukan transformasi etika yang bijaksana, transformasi pendidikan yang berbudaya, dan transformasi komunikasi sosial yang bijaksana. Revolusi-revolusi ini tak diragukan lagi dimulai dengan pematangan perspektif dan memperkuat dua pusat energi yang krusial dan fundamental dalam eksistensi manusia yaitu;

Pertama: Energi kedewasaan spiritual.

Kedewasaan spiritual (al-Rusyd al-Ruhi) merupakan energi kekuatan manusia menuju kepada petunjuk Allah swt dalam hal berhubungan dengan-Nya, berdasar kepada-Nya, beribadah secara benar kepada-Nya, dan menjauhkan diri dari jeratan nafsu dan keingingan-keinginan sesaat. Melalui kedewasaan spiritual manusia mendekati Allah SWT, dengan dorongan cinta. Bukankah Allah swt, selalu hadir mengenalkan diri-Nya sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim?

Allah SWT menurunkan wahyu dan menciptakan bumi dan langit sebagai wujud cinta-Nya pada manusia. Sebab itu hubungan dengan Tuhan itu lebih nyaman berdasarkan cinta. Menurut pandangan kaum sufi Tuhan lebih senang dicintai. Cinta akan melahirkan kekuatan kreatif, imajinatif, dan kesediaan berkurban, sehingga memupuk perkembangan spiritualitas seseorang tumbuh dan berkembang dengan baik.

Menurut Rick Warren (1995) dalam bukunya Purpose Driven Church menjelaskan enam prinsip pertumbuhan dan perkembangan spiritual seseorang yaitu: 1). Pertumbuhan spiritual harus dipupuk, untuk berkembang dibutuhkan komitmen dan usaha untuk tumbuh. 2). Pertumbuhan spiritual itu sederhana, setiap orang percaya dapat bertumbuh dan menjadi dewasa secara spiritual, kalau mereka mau memelihara hidup spiritualnya. 3). Pertumbuhan spiritual adalah proses yang membutuhkan waktu. Ini adalah perjalanan seumur hidup. 4). Pertumbuhan spiritual lebih dimanifestasikan lewat karakter dari pada lewat iman. 5). Pertumbuhan spiritual membutuhkan orang lain untuk berbagi dan membantu mereka untuk tumbuh. 6). Pertumbuhan spiritual membutuhkan pengalaman spiritual bersama dengan Allah SWT yang menghasilkan kedewasaan spiritual.

Pertumbuhan spiritual merupakan kombinasi dari pengetahuan tentang diri manusia dengan Tuhannya. Ada banyak cara di mana pertumbuhan ini bisa terjadi, bukan bergantung pada tingkat persepsi kesadaran spiritual tetapi pada keterlibatan masing-masing pribadi dalam proses mendekati Allah SWT secara terus menerus. Kita jadikan Dia Yang Maha memberi inisiatif dengan tingkat keyakinan atau kepercayaan yang tinggi. Dengan memiliki kapasitas itu maka secara spiritual, kehidupan spiritual manusia tumbuh secara dewasa penuh.

Kedewasaan spiritual akan memperkokoh kekuatan cahaya iman dengan kekuatan pondasi moralitas berbasis spiritual dalam kehidupan sosial. Kekuatan inilah yang dijadikan sebagai pendobrak ruh iman yang telah digantikan oleh software kapitalis-materialisme yang selalu mengejar kesenangan, sehingga manusia menjadi desiring machine yang mengejar kepuasan dan kesenangan peribadi tanpa memperdulikan prinsip keadilan dan kasih sayang.

Oleh sebab itu, upaya menuju ke arah kedewasaan spiritual harus bersifat holistik dengan mengintegrasikan intelektual, dimensi sosial, budaya, dan spiritual dari kehidupan seseorang. Kita harus menekankan bahwa kehidupan spiritual haruslah ditumbuhkembangkan secara terus menerus tanpa henti. Hal ini dapat dilakukan lewat proses pendidikan.

Sejalan dengan itu Manifesto Nottingham (1977) menyatakan bahwa kedewasaan spiritual itu membutuhkan sebuah proses yang melibatkan hubungan kita yang mendalam dengan Tuhan lewat pertobatan, iman, dan ketaatan kepada-Nya, yang mencakup pikiran, perilaku, sikap, kebiasaan dan karakter kita, bersamaan dengan pertumbuhan dalam pengetahuan tentang Allah dan kebenaran-Nya, yang disertai pengembangan dalam kapasitas untuk membedakan antara baik dan jahat. Sedangkan tujuan akhir dari kedewasaan spiritual ini ialah meningkatnya kemampuan untuk mengasihi dan dikasihi dalam relasi kita dengan Allah swt, manusia, dan alam semesta.

Kedua: Energi kedewasaan rasional (al-Rusyd al-Aqli).

Kedewasaan rasional merupakan phenomena yang terjadi dalam jiwa manusia itu sendiri, yang mengajak akal untuk berdialog dengan menunjukan dan menjelaskan cara-cara berpikir untuk mencari kebenaran. Kedewasaan rasional merupakan tingkat kecakapan menggunakan potensi akal dalam segala aktifitas berpikir yang tersedia untuk manusia dalam memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang ada di bumi, mengenal hukum-hukum alam dan undang-undang yang mengatur tentang eksistensi kehidupan di jagat semesta ini.

Kedewasaan rasional memiliki irisan dengan berpikir kritis. Menurut Fahim dan Pezesski (2012) berpikir kritis adalah proses berpikir secara logis dan melibatkan penalaran mendalam sebagai upaya untuk mempertimbangkan ide-ide yang muncul. Begitupun John Dewey (2012) berpikir kritis merupakan pertimbangan aktif yang terus-menerus dan teliti mengenai keyakinan atau pengetahuan yang telah diterima dengan menyertakan alasan yang mendukung serta adanya kesimpulan-kesimpulan yang rasional. Dengan demikian kedewasaan rasional merupakan energi kritis untuk menemukan dan mengembangkan ide-ide melalui pertimbangan keyakinan dan pengetahuan dalam menyadari kekuasaan Allah SWT.

Terdapat tiga karakteristik yang dapat menghubungkan proses kognisi dengan kemampuan seseorang mengenai berpikir kritis: 1). Sikap untuk berpikir dalam menemukan masalah dan mempertimbangkan ide untuk memecahkan permasalahan yang ada 2). Berpikir secara kritis dan logis dalam proses penyelidikan dan penalaran 3). Menggunakan beberapa keterampilan dalam proses penyelidikan tersebut (Lloyd dan Bahr: 2010)

Irisan lain kedewasaan rasional adalah Kecerdasan Majemuk (KM) sebagaimana yang dikembangkan oleh Jalaluddin Rahmat di SMA Plus Muthahhari. Konsep KM terinspirasi dengan teori Gardner (1993) yang mengembangkan tujuh kecerdasan yaitu; Logis-matematis, Linguistik, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal. Diantara tujuh kecerdasan itu yang dihargai dalam kebudayaan barat hanyalah kecerdasan logis-matematis dan linguistik (J.Rahmat;2016).

Kecerdasan ini digunakan dalam mengajar di SMA Plus Muthahhari dengan mengembangkan kompetensi dasar dengan gaya belajar yang berbeda. Kita tidak uraikan disini satu persatu. Namun kedewasaan rasional harus dimulai dengan menata kembali fungsi akal sehat secara sadar untuk menemukan kebenaran rasional melalui berpikir yang cerdas.

Manusia dewasa secara rasional dan spiritual tidak akan tenggelam dalam larutan fiksi yang menghayutkan. Dunia ini bukan tempat berandai-andai dan mencari sesuatu yang mustahil. Kehidupan ini disiapkan Allah SWT untuk manusia agar dijaga, di kelola dan disyukuri keberadaannya. Sebab itu hidup adalah ikhtiar, berpikir, merasa, berkresi, berinovasi dan berdialog dengan akal sehat atas pertimbangan spiritualitas sehingga hidup bermakna.

Makna hidup ada pada cinta yaitu cinta sejati kepada Allah Yang Maha Mencintai makhluk-Nya. Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga, begitulah kata para pujangga, sebagaimana pesan H. Roma Irama dalam lirik lagunya “Kata Pujangga”. Oleh sebab itu tentu saja tidak kita inginkan bangsa Indonesia yang kita banggakan ini hanyut dalam gelombang petaka lebih dalam karena sengketa akal sehat tanpa cinta. **

#Umum
SHARE :
Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin

LINK TERKAIT