Moral Revival

Moral Revival

Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir, S.Ag. MH, Kakan Kemenag Anambas

Istilah moral revival jarang kita temukan dalam berbagai literasi ilmu-ilmu sosial. Istilah ini lahir dalam sejarah pergumulan degradasi (kemerosotan) moral dalam perjalanan sosial politik bangsa-bangsa di dunia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “revival” diartikan dengan “kebangkitan”. Sedangkan moral (dari bahasa latin “mores”) diartikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan akhlak.

Jadi moral revival yang maksud dalam artikel ini adalah upaya kebangkitan segala sikap, perbuatan dan tindakan yang baik berupa akhlak mulia dalam kehidupan berbangsa. Revival dibangun atas asumsi non-reformed tentang kebobrokan moral dalam generasi yang berjalan akibat dampak negatif globalisasi.

Kemerosotan nilai-nilai moral dalam kehidupan berbangsa menjadi tantangan tersendiri bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Dalam cita-cita pembangunan nasional moralitas dan akhlak menjadi tujuan utama pembangunan manusia seutuhnya. Nah jika kita menelaah kondisi social bangsa kita (Indonesia) akhir-akhir ini, sering kali dijumpai perilaku menyimpang yang menunjukkan rentanannya moralitas berbangsa dan beragama.

Hal ini terjadi dalam berbagai isu-isu yang berkembang, seperti dalam isu penegakan hukum yang tidak adil, ekonomi yang belum stabil, Pendidikan yang belum bermutu, dan bahkan isu yang bersifat pribadi seperti kontroversi seputar ijazah Presiden Indonesia ke-7. Disamping itu terdapat pula isu pelanggaran standar etika (akhlak) di berbagai lembaga pendidikan, dan pelanggaran hukum di kalangan penegak hukum. Situasi ini berpotensi merusak nilai-nilai etika dan moral keagamaan yang selama ini di junjung tinggi.

Ketika isu-isu diatas berkembang menjadi perdebatan filosofis dan merambah ke ranah politik serta divalidasi pula oleh jaringan media sosial yang viral, maka perdebatan itu dapat dianggap valid dalam teodisi keagamaan, meskipun agama mungkin tidak secara otomatis mendukungnya sampai kebenarannya diuji terlebih dahulu. Namun agama pada dasarnya merepresentasikan keyakinan kepada Tuhan sebagai koneksi kesadaran dalam pengabdian spiritual yang tidak dapat dikompromikan atau digoyahkan oleh penalaran filosofis apa pun.

Dalam konteks ini, perdebatan sering muncul antara kebenaran keyakinan agama dan prinsip-prinsip kebenaran filosofis. Meskipun agama memiliki potensi untuk membebaskan manusia dari batasan sistemik tertentu, namun agama tidak memberikan bukti untuk pernyataan-pernyataan ini.

Kenyataannya, agama seringkali dipandang membatasi individu karena kekuatan structural (kekuasaan penguasa) yang melampauai batas. Di Indonesia, kekuatan struktural semacam itu lazim terjadi, sehingga mendorong para pemangku kepentingan untuk menentang dengan berbagai cara. Metode perlawanan yang umum dilakukan meliputi negosiasi, dialog, dan protes untuk menyampaikan inspirasi untuk menuntut keadilan.

Tindak pidana dan pelanggaran norma agama kerap pula terjadi di berbagai komunitas. Di sekolah, misalnya, siswa secara agresif menyakiti teman sebayanya (perundungan) atas masalah sepele. Di kalangan birokrat dan aparat penegak hukum, masih ada yang menyalahgunakan wewenangnya. Analisis menyeluruh terhadap berbagai kasus di tersebut mengindikasikan bahwa kita sedang mengalami krisis moral yang memprihatinkan.

Dalam dilema moral ini, banyak kalangan merenungkan bagaimana kita seharusnya menangani perdebatan filosofis mengenai isu-isu moral tersebut agar tantangan krisis yang dihadapi dapat terurai dan menemukan solusi.

Menurut penulis, situasi ini dapat diurai dengan menjadikan moralitas keagamaan sebagai landasan filosofis dalam mencari solusi atas tantangan yang dihadapi. Upaya ini kita sebut sebagai kebangkitan moral bagi masyarakat modern.

Terdapat kaitan erat antara kasus-kasus diatas dengan sikap keberagamaan (kejujuran) dalam masyarakat. Kaitan yang sangat nyata tergambar dalam proses debat publik tanpa akhir. Akibatnya, masyarakat kebingungan arah mana yang mesti di dahulukan? Apakah kekuasaan ataupun kebenaran dan keadilan. Hal ini tentu saja berpotensi membangun opini publik yang cenderung melahirkan sikap penghinaan dan merendahkan satu sama lain. Di pihak lain selalu mendobrak dinding kesadaran akan kejujuran yang menjadi moralitas tertinggi dalam beragama. Sebab diyakini bahwa keberagamaan adalah salah satu ciri utama etika bangsa Indonesia.

Dalam hal ini misalnya, kontroversi mengenai ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, yang banyak memicu perdebatan di media sosial, sejatinya peran agama (kejujuran) lebih diutamakan sebab argumentasi spiritual akan lebih berdampak terhadap sikap keberagamaan seseorang.

Dalam konteks ini, tampaknya masuk akal untuk merekonstruksi dan memperkuat kembali prinsip-prinsip moralitas, landasan etika sosial kehidupan berbangsa. Kesadaran etis ini dimulai dengan tindakan nyata seperti:

Pertama: Menghindar dari jebakan simbolisme

Menurut sebagian para ilmuan keberagamaan yang berkembang di Indonesia banyak berhenti pada tahap ritualistic dan simbolistik, bukan keberagamaan sebagai peradaban. Gejala ini merupakan wabah universal pada dunia Islam. Hal ini antara lain diramaikan oleh tuntutan sejumlah aktivis akan kesesuaian fakta antara realitas historis dengan ajaran praksis Islam.

Secara substantif Islam memang memiliki simbol-simbol namun tidak terjebak dalam simbolisme. Islam menghendaki pemberlakuan nilai-nilai moral secara substansial agar terwujud masyarakat yang beradab dalam kehidupan. Islam syarat dengan nilai-nilai fundamental yang dapat membangun kehidupan yang santun dan harmonis. Islam menghendaki adanya kebebasan yang beretika, persamaan hak yang adil dan menjunjung tinggi perbedaan pendapat.

 

Sebab itu keberagamaan simbolis harus dihindari agar tidak larut dalam perbedaan paham yang melelahkan. Paham keagamaan yang berorientasi simbolik hanya akan memperlebar jurang perselisihan antar umat beragama. Bangsa Indonesia telah banyak di pengaruhi oleh paham-paham keagamaan yang menyesatkan akibat dampak simbolisme beragama. Umpamanya saja paham relativisme. Paham ini adalah paham kenisbian yang diperkenalkan oleh Enstein mengenai alam semesta yang berdasarkan prinsip bahwa ukuran gerakan, ruang dan waktu bersifat relative (Muhammad Thalib;2007).

Dalam beragama terdapat metode analitik melalui ilmu mantik (analitik logis). Pandangan ini beranggapan bahwa segala masalah bersifat relative adalah suatu bertanda kebodohan yang fatal dan menunjukan bahwa orang yang bersangkutan tidak mampu berfikir berdasar kaedah-kaedah pemikiran yang universal. Artinya tidak semua masalah itu relative yang tak dapat dipecahkan pikiran yang sehat. Namun karena agama tidak hanya dapat dipahami dengan analitis-logis tetapi juga dengan tindakan nyata. Tindakan nyata ini berwujud moralitas atau akhlak mulia.

Disamping itu terdapat pula paham materialisme. Paham ini telah mengubah cara pandang masyarakat menjadi tertutup dari asfek-asfek ruh agama yang membeku dalam realitas kehidupan. Manusia hanyalah menjadi alat yang bekerja untuk menemukan kesenangan sesa’at belaka. Akibatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi tidak dapat berfungsi sesuai dengan tujuannya bahkan dapat merusak psikologi social yang merugikan orang banyak.

Sudah banyak bukti yang menjelaskan bahwa hilangnya ruh agama akan berdampak pada runtuhnya tatanan moral manusia. Runtuhnya tatanan moral mengakibatkan masyarakat tidak memiliki sandaran etika yang kuat. Untuk itu beragama tidak cukup sekedar menegakan symbol dengan menjalankan formalitas tetapi mesti sampai kepada realitas substantif (ruh) yaitu dampak kebaikan bagi diri dan orang lain.

Kedua: Memperkuat teologi peradaban

Sebagaimana yang kita uraikan diatas, bahwa agama akan menjadi sesuatu yang absurt dan menjadi ilusi bila tidak di bumikan pada tataran sosiologis antropologis. Dalam kaitannya dengan permasalahan moralitas, literatur Islam telah memperkenalkan maqashid al-syari’ah yang menangkap pesan dasar substantif ajaran teologis tanpa terjebak pada bentuk letterlijknya. Untuk itu secara filosofis dimulai dengan memperkuat teologi peradaban.

Teologi peradaban menjadi dasar yang sangat penting untuk membangun inspirasi dan etika moral beragama. Kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan dunia akan terhimpun dalam nilai-nilai kehidupan beragama. Moralitas adalah kunci kebahagiaan yang akan mewarnai perilaku individu dan social bernegara.

Secara konkrit nilai suatu agama akan membimbing perilaku yang lurus (jujur) dan saling percaya karena implementasi eksoterik nilai-nilai agama menjadi tindakan nyata dalam interaksi social. Memperkuat teologi peradaban berati membumikan bentuk-bentuk esoteris (batiniyah/mendalam) dari nilai-nilai keagamaan dan peribadatan disamping eksoterisnya (zahiriyah/luar) dalam ranah kehidupan social.

Ketiga: Meneguhkan kedewasaan rasional dan spiritual

Kedewasaan rasional (al-Rusyd al-Aqli) mendorong kekuatan kebangkitan moral dan menjadi unsur terpenting dari ajaran Islam. Dalam prinsif ini Islam mengajak aqal untuk berdialog, tidak menundukkannya dengan kekuatan fisik untuk mencari kebenaran rasional. Sebab itu Islam membimbing akal untuk selalu berada dalam jalur berfikir yang lurus (shirat al-mustaqin) untuk menemukan kebenaran hakiki.

Kedewasaan rasional (rational maturity) dapat digunkan dalam segala lapangan aktivitas manusia dengan tetap memperhatikan bukti-bukti kebesaran Allah swt di alam dan mengenal hukum-hukumnya. Rational maturity mampu menganalisah hikmah tasyri’ agar bisa membimbing system politik, ekonomi dan kehidipan social diatas petunjuk dan kesadaran moral. Upaya ini setidaknya dapat mengobati luka perdebatan panjang terhadap kasus-kasus actual yang terjadi selama ini.

Kedewasaan rasional mendorong tegaknya kebijaksanaan berfikir. Kedewasaan politik, kebijaksanaan ekonomi dan kesejukan hubungan social dapat pula dikembangkan dalam pergaulan social berbangsa dan beragama. Di sini akan lebih untuh apabila nilai-nilai eksoterik agama (spiritual) dapat tumbuh dalam setiap tindakan.

Selanjutnya kedewasaan spiritual (al-Rusyd al-Ruhi) yang akan membimbing manusia kepada petunjuk jalan Allah Yang Maha Benar yaitu melalui; berhubungan dengannya (hablum minallah), menyandarkan diri kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, dan menolak seluruh ibadah yang sesat (al-maghdhub) serta seluruh pengaruh hawa nafsu yang memalingkan manusia dari kebenaran. Kedewasaan spiritual selalu diikuti oleh kedewasaan fisik (al-Rusyd al-Hissi) yang selalu berkaitan dengan kemajuan material berupa sarana-prasarana yang menggambarkan peradaban. Kedua eksistensi kedewasaan tersebut harus berjalan seiring agar asfek-asfek pendukung tegaknya moralitas dapat melahirkan tujuan puncak kejayaan dan peradaban manusia.

Dengan landasan ini, moralitas agama diharapkan dapat berkembang dan berevolusi dalam kerangka nasional. Etika akan menjadi pendorong yang signifikan dalam menegakan kebenaran dengan melibatkan dimensi kognitif, emosional, dan perilaku keimanan, sehingga menumbuhkan kesadaran spiritual yang tulus dan ikhlas di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di Indonesia, hal ini sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (sila pertama), yang bertindak sebagai landasan filosofis dan moral-spiritual bagi keberadaan bangsa. Di sinilah agama berkontribusi secara signifikan dalam membangkitkan dan menumbuhkan moralitas, yang ditandai dengan komitmen terhadap kejujuran dan kebenaran.***

#Umum
SHARE :
Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin

LINK TERKAIT