Mengapa Engkau Lupakan Aku: Peringatan untuk Sang Hafizh

Mengapa Engkau Lupakan Aku: Peringatan untuk Sang Hafizh

 

 

Oleh: Dr.H.Muhammad Nasir,S.Ag., M.H., Kakan Kemenag Anambas

Wahai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil. (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan di waktu itu) lebih berkesan.(QS Al-Muzaammil, 1-6).

Diantara kebiasaan Rasulullah SAW, yang agung adalah tidak pernah meninggalkan sholat malam. Dalam sholat itu Rasulullah SAW biasanya memanjangkan bacaan sholatnya dengan membaca ayat-ayat yang panjang.

Khuzaifah, seorang sohabat nabi pernah sholat malam di belakang nabi. Waktu itu nabi berdiri lama sekali. Pada rakaat pertama, beliau membaca surat Al-Baqarah sampai ayat ke seratus.

Rasulullah SAW, menjadikan sholat malam untuk mengulang-ulang hafalan ayat Al-Qur’an (muraja’ah) dan menghayati isi kandungannya. Bacaan Al-Qur’an dalam sholat dapat menjadi obat yang menenangkan jiwa yang sedang gelisah. Kebiasaan Rasulullah SAW, mengulang bacaan Al-Qur’an dalam sholat malamnya menjadi contoh bagi para sahabat dan kita umatnya. Contoh ini merupakan metode yang sangat efektif untuk menghafal al-Qur’an dan memperkokoh hafalan.

Menghafal al-Quran termasuk ibadah yang dianjurkan. Secara etimologi, menghafal berarti menerima, mengingat, menyimpan dan memproduksi kembali tanggapan-tanggapan yang diperoleh melalui pengamatan, baik pengamatan fisologis maupun psikologis. Menghafal termasuk pengamatan psikologis. Dalam bahasa Arab menghafal berasal dari kata hafizha-yahfazhu-hifzhan yang berarti memelihara. Sedangkan Al-Qur’an artinya bacaan atau yang dibaca. Dari kata ini timbul istilah hifzh Al-Qur’an. Hifzh sendiri merupakan bentuk isim masdar dari fi’il madhi, yakni hafizha yang artinya memelihara, menjaga, dan menghafal. Orang yang hafal seluruh al-Qur’an disebut dengan hafizh (Munjahid, 2007).

Di negara-negara Islam termasuk Indonesia Al-Qur’an sering dimusabaqahkan atau diperlombakan melalui sebuah festival MTQ/MTQH atau STQ/STQH. Budaya ini sudah menjadi momen tahunan yang diselenggarakan mulai dari tingkat kecamatan sampai di tingkat negara atau nasional. Festival Al-Qur’an ini memang tidak ada di masa Rasulullah saw, namun jika dilakukan dengan niat untuk fastabiqulkhairat (berlomba dalam berbuat baik) dan untuk mengulang-ngulang hafalan tentu saja dapat bernilai ibadah.

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang bernilai mukjizat, yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, dengan perantara malaikat Jibril dan sampai kepada kita dengan mutawatir, membacanya terhitung sebagai ibadah dan tidak akan ditolak kebenarannya (Ahsin W.Al-Hafidz,1994).

Kebenaran Al-Qur’an dan keterpeliharaannya sampai saat ini justru semakin terbukti. Allah telah memberikan penegasan terhadap kebenaran dan keterpeliharaan tersebut, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:“Sesungguhnya Kami-lah menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”(QS.al-Hijr: 9).

Mengulang-ngulang membaca Al-Qur’an merupakan cara terbaik untuk menghafalnya. Dengan belajar melalui petunjuk Rasulullah SAW, hafalan Al-Qura’an akan semakin terpelihara dan terjaga dengan baik. Sebab itu para Hafizd/Hafizdah tidak diperkenankan untuk melupakan hafalannya. Mengapa Al-Quran itu di hafal dan dilarang melupakannya ?

Pertama, Al-Qur’an banyak memiliki keutamaan

Keutamaan mengahafal Al-Qur’an dan selalu membacanya, Allah SWT akan memberikan anugerah-Nya kepada mereka yang menghafalnya berupa perniagaan yang tak pernah rugi: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah swt dan mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugikan. Agar Allah SWT menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari anugerah-Nya. Sesungguhnya Allah swt Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”

Perniagaan Allah SWT berupa pahala yang besar akan diterima di akhirat kelak. Al-Qur’an akan datang kembali kepada para hafizd yang setia dengan Al-Qur’an dan memberikan syafa’at. Hal ini di jelaskan Rasulullah saw, dalam haditsnya; “Bacalah Al-Quran, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada pembacanya. (HR. Muslim)

Disamping itu di hadits yang lain Rasulullah SAW, menjelaskan pula bahwa barang siapa yang membaca satu huruf daripada Al-Quran maka baginya kebaikan. Dan kebaikan itu sama seperti 10 kali ganda. Aku tidak katakan ألم ’itu satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf. (HR,Al-Tirmizi)

Di hari kiamat nanti Al-Qur’an akan berdialog langsung dengan Allah SWT Sang Penguasa hari itu, ia (Al-Qur’an) berkata : Wahai Tuhan pakaikanlah (pakaian) kepadanya. Maka orang tersebut dipakaikan mahkota kemuliaan. Kemudian Al-Quran berkata lagi : Wahai Tuhan, tambahkanlah. Maka orang tersebut dipakaikan dengan pakaian kemuliaan. Kemudian Al-Quran berkata : Wahai Tuhan redhalah terhadapnya. Maka Allah pun redha kepada orang tersebut. Disebutkan kepadanya : Bacalah Al-Quran dan naiklah. Maka ditambahkan bagi setiap ayat satu kebaikan. (HR, Al-Tirmizi).

Kedua, Al-Qur’an Wajib Dipelihara.

Walaupun Allah SWT, yang telah pasti memelihara Al-Qur’an, namun manusia bukan berarti tidak diperlukan lagi untuk memeliharanya. Sebab itu jaminan Allah dalam surat Al Hijr ayat 9 tidak berarti umat Islam lepas tanggungjawab dari kewajiban untuk memelihara Al-Qur`an. Karena pada dasarnya umat Islam tetap berkewajiban untuk berusaha memelihara Al-Qur`an. Salah satu usaha nyata dalam proses pemeliharaan Al-Qur`an adalah dengan cara menghafalkannya. Hal tersebut telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad hingga sekarang ini. Nabi Muhammad adalah seorang yang ummi, yakni tidak pandai membaca dan tidak pandai menulis (Abdussabur Syahir, 2008).

Karena kondisi beliau yang demikian, maka tidak ada jalan lain bagi beliau selain menerima wahyu dengan hafalan. Setelah suatu ayat diturunkan, atau suatu surah beliau terima, beliau bersegera mengajarkan kepada para sahabatnya, serta menyuruh mereka agar menghafalkannya. Oleh sebab itu, proses turunnya Al-Qur`an secara berangsur-angsur merupakan cara terbaik bagi beliau atau pun bagi para sahabat untuk menghafal dan memahami makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur`an.

Usaha pemeliharaan Al-Qur’an selalu muncul dalam setiap generasi, mulai dari generasi para sahabat hingga generasi saat ini. Banyak di antara mereka yang dapat menghafal Al-Qur`an dalam usia yang sangat belia. Contoh: Imam asy-Syafi’i ( 7 tahun), Ibnu Hajar al-Asqalani (8 tahun), Imam al-Baqilani (7 tahun), Imam Ashbahani (5 tahun), Ibnu Sina (10 tahun). Tidak kalah dengan era terdahulu, banyak juga anak-anak di era sekarang yang sudah hafal Al-Qur’an di usia belia, di antaranya adalah Abdurrahman al-Fiqqy dari Mesir (9 tahun), Ali Husein Jawwad dari Bahrain dan Abdullah Fadhil asy-Syaqqaq dari Saudi Arabia (7 tahun), Muhammad Jauhari dari Turki (6 tahun), Muhammad Ayyub dari Tazikistan (5 tahun 6 bulan), Sayyid Muhammad Husein Taba’ Taba’i dari Iran (5 tahun), dan tidak kalah mengagumkan adalah Tabarak dan Yazid dari Mesir (4 tahun 6 bulan) yang kemudian mereka dinobatkan sebagai hafizh termuda di dunia oleh lembaga al-Jam’iyyah asy-Syar’iyyah li Tahfizh al-Qur’an, Jeddah.

Disamping itu upaya untuk memelihara Al-Qur’an juga dapat dilakukan melalui kebijakan pemerintah dengan mengembangkan program pendidikan tahfiz dalam masyarakat. Disana anak-anak dididik dan dilatih untuk menghafal, memahami dan mentadabburi Al-Qur’an serta mengamalkan dalam kehidupannya.

Sudah banyak negara-negara Islam yang telah melakukan terobosan dalam hal ini, sehingga dapat kita temukan selain di Negara Timur Tengah juga di Negara Asia seperti Indonesia banyak kita jumpai para penghafal Al-Qur’an mulai dari orang dewasa sampai anak-anak cilik, di antaranya adalah Faris jihady Hanifah (10 tahun), Muhammad Gozy Basayev (8 tahun), Durrotul Muqoffa (6 tahun), Muhammad Ma’ruf Baidhowi dan Muhammad Syaihul Bashir (12 tahun), dan yang tidak kalah fenomenal yakni Musa bin La Ode (5 tahun).

Memelihara hafalan Al-Quran sangat penting, namun yang lebih penting lagi adalah memelihara nilai-nilai kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan. Terjadinya bencana moral dalam pergaulan global dapat dipastikan karena manusia telah lari nilai-nilai Al-Qura’an. Pergeseran nilai dalam masyarakat akibat pengaruh media sosial merupakan revolusi besar yang mengubah perilaku manusia saat ini.

Realitas menjadi bersifat virtual dan maya yang harus diadaptasi dan diintegrasikan dalam kajian ilmu pengetahuan kontemporer. Sehingga diperlukan sebuah kontrol dan pegangan nilai Al-Qur’an untuk pengendalian moral agar kesalehan virtual dan perilaku bermedia sosial dalam masyarakat dapat terjaga dan terpelihara dengan baik.

Kekuatan media sosial dapat memengaruhi beragam orientasi nilai masyarakat dalam semua aspek kehidupan. Media sosial berdampak pada berbagai aspek perwujudan nilai, termasuk komponen agama, budaya, dan ilmiah. Bahkan, inisiatif untuk menegakkan cita-cita Al-Qur'an dalam masyarakat berfungsi untuk memperkuat ketiga elemen ini. Karena berfungsi sebagai benteng terhadap efek globalisasi yang semakin merusak, prinsip-prinsip Al-Qur'an harus membumi di hati manusia.

Jadi memelihara nilai-nilai Al-Quran agar menjadi benteng dalam kehidupan modern, adalah suatu kewajiban dan prinsip dalam suatu sistem masyarakat modern yang dinamis. Prinsipnya adalah dengan tetap memberikan ruang yang cukup pada proses perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan penemuan-penemuan baru lainnya yang tengah berlangsung.

Di sini nilai-nilai Al-Qur’an menjadi penguat kesadaran religius seseorang. Kesadaran religius tidak berarti memisahkan diri dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sebagai alat, sarana dan bukan tujuan.

Ketiga, Al-Qur’an Sumber Inspirasi Kesadaran Hakiki.

Kandungan Al-Quran merupakan dasar utama bagi inspirasi moral, petunjuk, dan hikmah yang sangat besar dalam mewujudkan kesadaran manusia. Sebab itulah Rasulullah SAW telah mencontohkan dengan membaca, menghayati maknanya, dan menghafalkan lafaznya.

Al-Qur'an memiliki 30 juz, 114 surah dan 6666 ayat yang diwahyukan secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW, melalui Malaikat Jibril AS (Abdullah dkk.2018).

Inspirasi kesadaran hakiki dari nilai Al-Qur’an diperoleh melalui membaca, mendengarkan dan menghayati kandungannya. Nilai-nilai Al-Qur’an menjadi cahaya iman seseorang yang dapat melintasi relung bathin paling dalam. Hal itu tentu saja bagi mereka yang sudah sampai kepada penghayatan tertinggi. Kondisi demikian dapat menyebabkan seorang menangis ketika mendengar ataupun membacanya sebab mereka telah mendapatkan Rahmat dari Allah swt. Dalam hal ini Allah swt berfirman; "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat". (Qs. Al-A'raf: 204).

Ayat ini menjelaskan pentingnya mendengarkan bacaan Al-Qur'an dengan penuh perhatian dan diam, serta berharap untuk memperoleh rahmat Allah swt. Dalam Hadits Ibnu Mas’ud ra, disebutkan bahwa Rasulullah saw, pernah berkata kepada Ibnu Mas’ud ra, “Bacakanlah Al-Quran untuk-ku!” Ibnu Mas’ud ra, berkata, “Wahai Rasulullah adakah aku membacakan al-quran untuk-mu, padahal ia diturunkan kepada-mu?”Lalu beliau menjawab, “Aku suka mendengarkannya dari orang lain.”

Lalu Ibnu Mas’ud ra, membacakan surat An-Nisa, tatkala sampai ayat:”maka bagaimanakan halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dan tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)?”, beliau berkata, “Sekarang cukup!” Ibnu Mas’ud berkata, lalu aku menengok kea rah beliau, yang ternyata kedua matanya meneteskan air mata. (Muttafaqun “Alaih).

Menurut Ibnu An-Nahwi, tangis beliau tatkala mendengar ayat ini karena beliau harus memberikan kesaksian. Maka tatkala berpikir harus menjadi saksi itulah beliau menangis. Abdullah (2018) juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW dipersepsikan sebagai “Sayyid al-Huffaz” atau “Awwal Jummah” yang merujuk pada manusia pertama yang menghafal Al-Quran dalam sejarah Islam.

Selain itu, Arif (2005) dalam membantah ideologi orientalisme dan Luxenberg menegaskan bahwa Al-Quran adalah terbukti otentik dan tidak terbantahkan karena asas keasliannya bukan dari tulisan, melainkan dari konsistensi periwayatan dari wahyu dan ajaran langsung dari riwayat-riwayat yang bersambung dari hafalan dan bacaan lisan Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan Al-Quran tertulis menjadi mushaf oleh suatu majelis ahli pada masa pemerintahan Khalifah Utsman r.a dilakukan untuk menjamin keaslian dan standarisasi Al-Quran yang berlandaskan pada riwayat langsung dan hafalan mutawatir dari Nabi (Arif, 2005).

Al-Quran juga disebut sebagai sumber utama dan petunjuk bagi seluruh umat manusia, serta sumber ilmu pengetahuan dari banyak aspek kehidupan manusia. Sebab itu menghafalnya merupakan Ibadah yang sangat mulia di sisi Allah SWT.

Menghafal Al-Qur’an merupakan proses mengingat dan memelihara Al-Qur’an dengan niat yang tulus untuk memeliharanya dari segala bentuk perubahan baik berupa penambahan, pengurangan, maupun manipulasi ayat-ayatnya. Sebab itu Nabi saw, sangat menganjurkan umatnya menghafal al-Quran. Nabi mengecam orang yang pernah menghafal al-Quran kemudian melupakannya.

Al-Quran diwahyukan berupa kata-kata yang kemudian terabadikan dalam bentuk tulisan, hal ini memberikan isyarat dari Allah agar wahyu itu menjelma sebagai realitas sejarah yang bisa diakses, di dekati dan dibaca oleh semua orang, sehingga Al-Qura’an itu benar-benar hidup dan berada di tengah umat sebagai petunjuk jalan kehidupan. Dia menjadi teman berdialog untuk membangun tata kehidupan yang berkeadaban dengan landasan iman, Ilmu dan amal. Pendek kata membaca dan menghafal dengan merenungkan isinya menyebabkan tangisan bagi yang dikehendai-Nya.

Kelak pada hari akhir, seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan di surga yang tinggi. Ia terpersona dan bertanya, “Siapakah Anda?”Yang indah itu menjawab, “Tidakkah kamu mengenal aku. Aku adalah ayat Al-Quran yang pernah engkau hafal. Tetapi kau lupakan daku. Sekarang engkau tetap mengikatku, engkau akan berada di tempat yang sama denganku.”Oleh karena itu ikatlah Al-Quran dalam sholat malammu." ***

Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin

LINK TERKAIT