Maksiat Ideologi

Maksiat Ideologi

Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir, S.Ag., M.H., Kakan Kemenag Anambas

Globalisasi telah berkembang menjadi simbol kedigdayaan peradaban bumi yang mempengaruhi struktur eksistensi kemanusiaan sejagat. Manusia hidup dalam jaringan dunia maya tanpa batas, terhubung dalam ruang tunggal tanpa sekat dan jarak. Ibarat mesin ia tidak pernah berhenti bergerak menghasilkan energi panas mempengaruhi dinamo keyakinan dan budaya masyarakat yang dirasakan semakin menjauh dari ajaran agama. Kondisi ini kita disebut sebagai sekularisme modern.

Nilai peradaban manusia dibentuk oleh pengaruh ideologi kontemporer yang terus-menerus mempengaruhi lanskap pemikiran filosofis hidupnya. Layaknya robot, otak manusia beroperasi di bawah kendali jarak jauh ideologi kontemporer, yang terbebaskan. Agama berada dalam ranah privasi setiap individu tanpa adanya keberanian untuk mengkritik, sehingga agama menjadi sasaran korban dalam kehidupan modern.

Disamping itu, dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, tafsir keberagamaan di masyarakat sering dilakukan dengan multi tafsir, sehingga pemahaman agama tidak hanya berorientasi pada pemahaman yang bersifat pertikal dan legal formal yang berhubungan dengan ibadah ritual, doktriner, dogmatis, dan berhubungan dengan kesadaran langit (ketuhanan), melainkan memiliki orientasi religious multi kultur. Kadang-kadang diikuti pula oleh tafsir-tafsir yang bersifat radikal yang menyebabkan banyak perbedaan di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu tafsir tunggal dalam memahami agama sudah mulai ditinggalkan.

Kenyataan ini (meminjam istilah Ahmad fuad Fanani (2004), menyebabkan munculnya evolusi pengetahuan agama. Menurut Dr. Hasan Hanafi (2007), dalam bukunya Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat menyebutkan tidak kurang dari delapan model tafsir yang berkembang di masyarakat modern yaitu; metode linguistic, metode historis, metode fikih, metode sufistik, metode folosofis, metode dogmatis, metode saintifik, dan metode reformis. Artikel ini tidak menjelaskan kedelapan metode tersebut di sini. Tetapi diantara metode tafsir tersebut dua metode terakhir yaitu metode saintifik dan metode reformis sangat berpengaruh melahirkan kebebasan berfikir dalam memahami doktrin agama (baca: Islam).

Dalam tafsir saintifik, umat beragama selalu menjadi konsumen peradaban, karena berkembangnya sains bukan dari tubuh umat itu sendiri melainkan dari orang lain. Artinya kita selalu menjadi murit sepanjang masa dan tak akan pernah menjadi guru. Umat beragama selalu memulai dengan sains dalam menafsirkan agama yang sesuai dengan penemuan orang lain. Akibatnya agama menjadi pengekor sehingga sains unggul dari agama.

Disamping itu tafsir ini memadukan sains dan agama dengan cara mengambil unsur sains yang sejalan dengan agama dan membuang unsur yang tidak sejalan (tafsir konservatif) atau mengambil ajaran agama yang sejalan dengan sains (tafsir progresif). Hal ini menyebabkan kelemahan dalam memahami agama ataupun sains (Hasan Hanafi; 2007).

Sementara dalam tafsir reformis, ia hanya gerakan reformasi, bukan refolusioner yang bertujuan untuk memahami aqidah secara benar, bukan pula untuk menciptakan revolusi radikal dalam struktur social. Dia hanya merupakan reformasi terbatas karena kemudian tidak berubah menjadi kebangkitan universal yang berlandaskan pada prinsip-prinsip pencerahan akal, kebebasan, demokrasi, alam, manusia dan sejarah. Dengan demikian pemahaman manusia terbatas dan bahkan sulit berkembang sesuai dengan tujuan agama. Disinilah barangkali perlunya evolusi keagamaan agar terhindar dari penafsiran yang menyesatkan manusia.

Evolusi keagamaan adalah perwujudan keberagamaan manusia itu sendiri yang lahir dari pemahaman yang dimiliki. Menurut Robert N. Bellah, berjalan sesuai dengan tingkat perkembangan kebebasan dan situasi masyarakat yang mengelilinya (Beyond Belief, 2001). Fokus utama evolusi keagamaan adalah system symbol keagamaan itu sendiri. Maksutnya, arah utama perkembangannya adalah simbolisasi dari yang sederhana menuju simbolisasi yang terdiferensiasi.

Selama ini doktrin yang tertanam dalam benak pikiran umat beragama adalah bahwa kebenaran agama bersifat tunggal, pasti dan tuntas. Mereka menganggap bahwa agama adalah wilayah yang harus disucikan dari kreatifitas dan kritik manusia. Sebab agama adalah milik Tuhan yang terjamin kebenarannya. Ketika agama sudah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan manusia ketika itu manusia tidak lagi bercermin dengan nilai-nilai dan pesan moral agama tetapi mengikuti faham tafsir yang diciptakan, ketika itulah manusia modern menurut penulis melakukan maksiat ideologi. Jadi maksiat ideologi adalah pemahaman agama yang menjauh dari prinsip-prinsip spiritualitas seperti meyakini kebenaran sains diatas keyakinan agama. Realitas ini sangat membahayakan bagi kelangsungan perkembangan agama di masa depan.

Pembicaraan tentang maksiat ideologi sudah pernah muncul di kalangan para intelektual ketika Dr. Mukhatim el-Moekry (2002) menyusun serial bunga rampai kumpulan rujukan jurnal Islam tahun 2002. Pemikiran ini tidak banyak mendapatkan tanggapan dari kalangan intelektual karena dianggap sedikit berseberangan dengan pola pandang modernisasi ilmu keagamaan. Dalam pengantarnya beliau menyebutkan bahwa buku kumpulan jurnal ini hanyalah sebuah memori perjalanan kehidupan dalam menjawab tantangan terhadap fenomena hukum syara’. Disaat itu hukum syara’ belum kuat dan tajam menjawab problematik yang berkembang di tengah umat, sehingga orang lebih cenderung mencari jawaban dari analisis filsafat. Begitulah jika sebuah pemikiran berseberangan dengan pendapat banyak orang yang ingin mengejar sesuatu diluar ketentuan agama, mereka tidak merespon dengan serius. Ketika agama telah menjadi paham yang berkembang dalam kehidupan manusia, maka paham itu telah menjadi ideologi yang diyakini.

Menurut Noresah (2010), ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua perkataan yaitu ide dan logos. Ide bererti buah fikiran dan logos berarti kaedah. Jadi ideologi bermaksud faham yang digunakan atau yang dicita-citakan untuk dasar dalam kehidupan sosial, pemerintahan dan lain-lain. Sementara modern berarti masa kini dan mutakhir. Jadi ideologi modern adalah faham yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam kehidupan sosial kontemporer.

Menurut Sulaiman (2011) menyebut bahawa ideologi modern bermaksud fahaman-fahaman yang baru lahir terutama semasa zaman Renaissance di Eropa bermula abat ke-14 dan berada di puncak pada abat ke-18 dan 19. Menurut Zakaria (2015) menyebutkan ideologi sebagai segala faham dan isme yang dicipta oleh Barat dan disebar ke dalam negara umat Islam melalui penjajahan. Adapun Noresah (2010) menyatakan bahawa ideologi modern juga dirujuk pada istilah isme (ism) yang bererti kepercayaan, gerakan politik atau keagamaan dan juga sikap serta perlakuan.

Maksiat ideologi telah memasuki babak baru kehidupan modern. Ia telah menjadi komoditi utama yang dikembangkan sejalan dengan perkembangan sains. Walaupun mengalami pertentangan dengan moralitas agama, namun tetap saja berkembang dengan pesat. Bahkan pertentangan antar ideologi telah menjadi pasar modal intelektual dalam mewujudkan stigma baru dalam persaingan. Masyarakat dunia dengan sengaja mencari kesibukan untuk menggali ide-ide baru dari sumber pengetahuan yang berkembang. Kecerdasan manusia sangat kulturalisme sehingga keyakinan struktur moral dalam religiusitas tidak mampu mendombarak kepalsuan. Diantara contoh ide-ide baru yang lahir sebagai ideologi modern adalah kapitalisme dan sosialisme.

Kapitalisme dan sosialisme adalah ideologi yang lahir karena kezaliman manusia. Ideologi ini lahir setelah terjadinya penindasan gereja pada abat pertengahan. Dorongan yang lahir pada saat itu adalah menolak terhadap agama secara total. Maka agama diganti dengan ideologi kapitalis dan sosialis karena itu kedua ideologi tersebut adalah ajaran yang bersumber dari akal manusia yang dapat menyesatkan system kepercayaan manusia.

Maksiat Ideologi adalah suatu sistem kepercayaan atau pandangan hidup yang mendorong dan melegitimasi perilaku buruk, bertentangan dengan nilai-nilai moral dan keagamaan. Hal ini merupakan ancaman serius bagi masyarakat modern karena dapat mengikis fondasi spiritual dan etika yang menjadi pilar kehidupan bermasyarakat.

Munculnya pelbagai ideologi moden pada masa kini menjadi suatu masalah besar yang menggerogoti jati diri umat beragama. Sejak dahulu hingga sekarang umat beragama terpaksa berhadapan dengan ancaman ideologi moden yang semakin mengikis spiritualitas dan kepercayaan umat beragama. Ancaman yang berterusan ini secara tradisinya akan berjaya menggugat kepercayaan dan pegangan spiritualitas umat itu sendiri. Ia akan menindas ideologi moral yang bersifat spiritualitas. Ideologi moral adalah serangkaian keyakinan, nilai, dan prinsip yang membimbing individu atau kelompok ke arah apa yang dianggap benar atau salah secara moral (Moral ideology is a set of beliefs, values, and principles that guide individuals or groups towards what is considered morally right or wrong).

Konsep ideologi moral berakar pada berbagai tradisi keagamaan dan filsafat, yang sering digunakan untuk mempromosikan agenda moral, etika, atau sosial tertentu (The concept of moral ideology has roots in various religious and philosophical traditions, often used to promote specific moral, ethical, or social agendas). Ideologi moral dapat dicirikan oleh kecenderungannya yang kaku, eksklusif, dan menolak pemeriksaan kritis, sering kali mengklaim superioritas moral atas sistem kepercayaan lain (Moral ideologies can be characterized by their tendency to be rigid, exclusionary, and resistant to critical examination, often claiming moral superiority over other belief systems).

Saat ini kondisi sosial ekonomi bangsa yang sedikit buruk, ketimpangan sosial, dan kurangnya akses pendidikan dapat mendorong penyebaran ideologi maksiat. Konten media yang mengandung unsur pornografi, kekerasan, dan propaganda dapat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan perilaku masyarakat. Akibatnya melemahnya pemahaman dan praktik nilai-nilai moral, spiritual, dan keagamaan di masyarakat yang mempermudah penyebaran ideologi maksiat. Ditambah ladi dengan adanya kelompok-kelompok atau komunitas yang menyebarkan ideologi maksiat dan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya seperti kelompok yang mengagungkan tehnologi modern tanpa batas. Yang sangat populer saat ini adalah Artificial Intelligence dan ChatGPT sebagai produk AI yang dapat memperdangkal paham keagamaan karena sifatnya yang siap saji tanpa analisis tafsir yang benar.

Ideologi maksiat memiliki dampak negatif yang membahayakan secara signifikan terhadap individu, keluarga, dan masyarakat secara luas. Pada tingkat individu, ideologi ini dapat menyebabkan dekadensi moral, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku kriminal. Pada tingkat keluarga, ideologi maksiat dapat menimbulkan konflik, perpecahan, dan disfungsi keluarga. Pada tingkat masyarakat, ideologi ini dapat memicu radikalisme, intoleransi, dan instabilitas sosial.

Lalu bagaimana solusinya ?

Pertama, Menangkal Ideologi Maksiat.

Memperkuat sistem pendidikan yang menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan spiritualitas yang positif untuk membentuk karakter, mindset baru dan cultureset masyarakat yang tangguh terhadap ideologi maksiat. Mengoptimalkan peran agama dan pemuka agama dalam memberikan pemahaman, bimbingan, dan keteladanan untuk menangkal penyebaran ideologi maksiat di masyarakat. Membangun kolaborasi yang erat antara pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan kebijakan, program, dan inisiatif untuk mencegah dan menangkal penyebaran ideologi maksiat. Mempromosikan dan memperkuat budaya positif di masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kebajikan sebagai benteng melawan ideologi maksiat.

Kedua, Memperkuat Peran Masyarakat dalam Mencegah Ideologi Maksiat.

Keluarga menjadi institusi pertama dan utama dalam menanamkan nilai-nilai positif dan membentengi anggotanya dari pengaruh ideologi maksiat. Orang tua dapat mengajarkan akhlak mulia, membiasakan ibadah, dan memantau aktivitas anak-anak. Meningkatkan peran lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal, memiliki peran penting dalam membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang kuat untuk menolak ideologi maksiat. Kurikulum yang menekankan pendidikan karakter dan penguatan nilai-nilai keagamaan dapat menjadi langkah efektif.

Disamping itu memperkuat peran dan fungsi tokoh agama dan masyarakat. Tokoh agama dan masyarakat yang disegani dapat berperan aktif dalam memberikan pemahaman, bimbingan, dan keteladanan bagi warga masyarakat. Mereka dapat menjadi agen perubahan dalam mencegah penyebaran ideologi maksiat di lingkungan sekitar. Mengembangkan kegiatan positif di masyarakat. Masyarakat dapat mengembangkan berbagai kegiatan positif, seperti pengajian, kajian keagamaan, kegiatan sosial, dan pelatihan keterampilan. Hal ini dapat menjadi alternatif yang dapat mengisi waktu luang masyarakat, sehingga mengurangi kemungkinan terpapar ideologi maksiat.

Meningkatkan kepedulian dan keterlibatan masyarakat. Masyarakat perlu meningkatkan kepedulian dan keterlibatan aktif dalam mencegah penyebaran ideologi maksiat. Hal ini dapat dilakukan melalui pemantauan lingkungan, pelaporan aktivitas mencurigakan, dan berpartisipasi dalam kegiatan pencegahan yang diinisiasi oleh pemerintah atau lembaga terkait. Disamping itu diperlukan membangun masyarakat berdasarkan nilai-nilai positif seperti; penguatan moral, penguatan spiritual, pendidikan karakter dan peran aktif masyarakat secara berkelanjutan.

Ketiga, Membaca dan memaknai kembali moralitas agama.

Untuk menghindari pemikiran evolusi keagamaan yang menyimpang terutama yang mengarah kepada maksiat ideologi perlu membaca ulang makna dan moralitas agama. Dengan bermunculannya metode tafsir yang heterogen dalam masyarakat modern maka kritik dan penguatan kembali metodologi tafsir suatu kemestian yang wajib ditradisikan. Tradisi ini bertujuan tidak lain adalah agar peran-peran profetik agama menjadi kekuatan moral dan pembebasan lewat perilaku pemeluknya. Namun keragaman tafsir juga mempunyai nilai positif sebagai upaya kontekstualisasi teks agama pada problem kemanusiaan masa ini.

Untuk itu dalam melahirkan keberagaman tafsir keagamaan, metode dekonstruksi yang dicetuskan oleh Jeques Derrida ( 2004), mungkin saja dapat dijadikan alternatif paradigma dan cara kerja yang digunakan. Metode yang pada mulanya digunakan dalam bidang sastra dan filsafat ini, bertujuan untuk membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur yang dipaksakan kebenarannya, sehingga tidak menyisakan ruang untuk bertanya, menggugat, atau mengkritik. Hal ini dilakukan untuk menghindari pluralitas persepsi yang menyesatkan sehingga menjauhkan manusia dari sifat-sifat penciptanya.

Moralitas agama mesti dikembalikan kepada fungsi dasarnya yaitu sebagai acuan nilai dalam kehidupan modern. Karena manusia memiliki potensi kreatif yang tak terhingga untuk merancang hari depannya, maka hendaknya kita membebaskan diri dari keberagamaan yang mekanistik dan manipulatif sebagaimana cara kerja ilmu pengetahuan modern yang memanipulasi alam dan nilai-nilai kemanusiaan. Sering tanpa disadari kita memposisikan nilai agama sebagai sumber kekuatan yang dieksploitasi untuk memuaskan ego kita, bukannya sebagai sumber inspirasi dan kekuatan yang menumbuhkan dan membebaskan manusia dari rutinitas modernisasi yang membosankan.

Sudah saatnya kita menjauh dari maksiat ideologi yang mengancam moralitas agama. Kita kembali menjadikan moralitas agama menjadi inspirasi jalan kehidupan karena nilai agama selalu memperjuangkan dan menguatkan prinsip-prinsip antropik spiritualisme yang menempatkan manusia sebagai subyek senteral dalam jagad raya, namun inheren dalam kemanusiaannya kesadaran spiritual yang senantiasa berorientasi kepada Tuhan. Kesadaran spiritual tersebut harus pula ditopang oleh ilmu pengetahuan agar bisa memberikan dampak eko-theologi dan kosmologi sehingga manusia tahu dimana dan berjalan kemana kereta ruang dan waktu alam jagat raya ini ditumpanginya.**

 

#Umum
SHARE :
Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin

LINK TERKAIT