Jabatan dan Negeri Jangan-Jangan

Jabatan dan Negeri Jangan-Jangan

Oleh: H. Muhammad Nasir.S.Ag.MH, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kepulauan Anambas

Potret birokrasi sebagai instrumen kekuasaan merupakan realitas dalam kehidupan bernegara dan menjadi fenomena yang menarik di Indonesia. Di dalam birokrasi terdapat jabatan-jabatan yang menjadi rebutan dan lapangan hidup yang menjanjikan.

Hingga hari ini dunia birokrat adalah dunia persaingan karir yang banyak digemari banyak orang. Terkadang melebihi persaingan dalam dunia bisnis sehingga menyebabkan terjadi persaingan yang tidak sehat dalam mendapatkan biro-biro yang menjanjikan itu.

Di instansi/lembaga yang memiliki job, terbuka peluang untuk menduduki jabatan sesuai dengan tawaran yang tersedia. Disinilah bermula lahirnya mental hipokrit yang kadang-kadang menambrak aturan main dalam persaingan. Akibatnya birokrasi menjadi ajang pertengkaran politik yang tak berujung.

Sifat birokrasi yang hierarkhis dan solid akan sangat efektif, jika digunakan sebagai instrumen kekuasaan yang adil. Tetapi kenyatannya, birokrasi digunakan untuk kepentingan tertentu yang memiliki kekuatan monopoli dan membebaskan kontrol yang melindungi lingkup kekuasaan birokrasi. Dengan kapasitas tersebut akhirnya birokrasi bertindak sebagai alat untuk perluasan dominasi kekuasaan jabatan. Pada kondisi demikian, maka kekuasaan menjadi ajang janji-janji busuk pemberian harapan bagi yang berkepentingan.

Ungkapan yang sering muncul, “Kekuasaan memang menggiurkan, sayang bila tidak dipertahankan”. Ini adalah sepenggal kalimat yang dijadikan judul artikel salah satu koran nasional (2021). Sejarah mencatat, keinginan untuk melanggengkan kekuasaan menjadi fenomena klasik yang terus berulang. Jabatan apa saja struktural atau non struktural merupakan suatu kedudukan yang menunjukkan hak seseorang, wewenang, tanggung jawab dan tugas dalam memimpin sebuah organisasi negara.

Jabatan sangat berkaitan dengan eselon, yaitu tingkatan dalam jabatan struktural yang disusun berdasarkan berat atau ringannya hak, wewenang, tanggung jawab maupun tugas.

Lalu apasih jabatan itu? beberapa defenisi dapat penulis sebutkan diantaranya: a. Menurut Rusli Syarif, jabatan merupakan suatu kumpulan tugas dan tanggung jawab serta kewajiban yang untuk keseluruhannya dinyatakan sebagai beban yang dipikul pada seorang pekerja.

b. Menurut Musanef, jabatan merupakan suatu tugas yang secara mapan dibebankan seseoran ataupun sekelompok orang c. Menurut UU Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Penjelasan Pasal 17 ayat 1 tentang pokok-pokok kepegawaian, jabatan adala kedudukan yang menunjukkan bawa tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi negara.

Seseorang yang akan menduduki sebuah jabatan pada suatu instansi pemerintah di persyaratan wajib mengucapkan sumpah jabatan di hadapan dua orang saksi agar jabatan tidak diselewengkan untuk kepentingan tertentu.

Namun, sampai hari ini karena kita berada dalam negeri jangan-jangan, kita masih menyaksikan para pejabat tinggi ataupun rendah dengan mudah menggunakan jabatan untuk membuat kebijakan yang bertentangan dengan sumpah yang diucapkan. Mereka masih melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme alias KKN dengan cara halus, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan dan ada juga yang tertangkap tangan alias OTT oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pada umumnya pejabat yang di OTT dilakukan di luar kantor alias di tempat-tempat ngopi, minum-minum atau di restoran hotel dan sebagainya dan hampir tidak ada yang di tangkap di kantor tempat ia bekerja. Inilah mungkin rahasianya mengapa para pencetus adanya ruang kantor yang di persyaratkan bagi organisasi pemerintah atau swasta dalam system pemerintahan.

Jika KKN terus berkelanjutan sudah dapat dipastikan Indonesia tidak akan bisa bangkit menjadi negara yang berbudaya luhur. Padahal para pejuang bangsa ini dan bahkan seluruh masyarakat menginginkan negeri ini menjadi negeri yang maju dan berperadaban luhur.

Untuk menuju kearah itu tentu saja mesti di awali dengan kesadaran para pejabatnya, pemimpinnya dan para pembuat kebijakannya untuk memiliki integritas dan tanggungjawab moral dengan ketoladanan yang baik.

Biasanya para birokrat alias para pejabat sendiri tahu bahwa penyimpangan dan pelanggaran yang ada di dalam birokrasi. Namun enggan berbicara, alih-alih mengungkapkan ke public dan Lembaga Pemberantasan Korupsi. Baru setelah pensiun biasanya pengakuan mereka kaluar itupun secara rahasia dan terbatas pada lingkungan kecil. Misalnya untuk mengatakan masih ada yang berani melakukan pungutan-pungutan, memberikan janji dengan imbalan dan sebagainya untuk jabatan tertantu. Akhirnya pejabat yang tidak memiliki integritas yang kuat tak obahnya seperti ikan lele yang menikmati dan bertahan hidup dalam air kotor di sekitarnya.

Kita tidak ingin negeri ini menjadi negeri jangan-jangan. Karena negeri jangan-jangan para pemimpinnya, para pejabatnya dan para penentu kebijakanmnya jangan-jangan seperti Qarun, yang rakus mengumpulkan dunia dengan tidak peduli halal dan haram. Demi duit alias uang mereka tak lagi ragu-ragu menghantam, menyakiti, bahkan membunuh sesama teman baik membunuh secara fisik ataupun membunuh karirnya. Jangan-jangan para cerdik pandai kita telah menjadi Hamman, yang mempersembahkan kecerdasannya untuk mengabdi kepada kezaliman. Kecerdikan mereka pergunakan untuk meliciki dan me-minter-i orang-orang bodoh.

Kita bisa jadi sedang berada dalam negeri jangan-jangan. Jangan-jangan sebagian para ulama kita sudah menjadi Bal’am bin Ba’ura. Kita menjual ayat-ayat Allah swt untuk memenuhi hawa nafsu kita. Kita mengemas ambisi duniawi bertopeng politik dengan ritus-ritus kesalehan. Seharusnya kita mengayunkan langkah kita ke gubuk-gubuk saudara kita yang miskin untuk membantunya tetapi kita ayunkan langkah kita ke istana para penguasa, menundukan kepala kita di hadapannya seraya mengumumkan ayat-ayat Allah SWT untuk membenarkan kezaliman mereka. Jangan-jangan kita semua sudah tidak peduli lagi dengan perintah-perintah Tuhan. Kita telah menjadi budak-budak dunia.

Di masjid kita membesarkan Allah SWT. Di luar masjid kita menyepelekan-Nya. Di masjid seluruh anggota badan kita pergunakan untuk beribadah kepada Allah, di luar masjid kita gunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.

Jabatan adalah Amanah bukan Hadiyah sebab itu tidak ada janji-janji dalam jabatan. Dalam Islam melarang seseorang untuk meminta-minta jabatan dan memberikan janji untuk menduduki jabatan tertentu.

Menurut Khalid Muhammad Khalid saat Umar ibn al-Khattab RA berada di pengujung ajalnya, ia menolak keras ketika anaknya diusulkan sebagai calon pejabat /khalifah yang akan menggantikannya. Meski diusulkan berulang kali, Umar RA tidak memasukkan nama putranya ke dalam daftar 6 sahabat calon khalifah. Ketika ditanya, apa alasan Umar RA menolak hal itu, ia berkata, "Cukuplah satu orang saja dari keluarga 'Umar yang akan menghadapi hisab karena urusan kekuasaan, yaitu Umar!"

Begitu jelas dan tegas pesan Sang Umar RA dalam hal jabatan. Sebab itu bagi orang mukmin jabatan adalah memikul tanggungjawab yang besar dan untuk tujuan yang mulia. Bagi pejabat yang beriman rela mempertaruhkan jabatan demi tujuan yang luhur yakni mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya.

Bagi mereka jabatan adalah pengabdian dalam rangka merendahkan diri atau tawadhu’ dihadapan Allah, mereka menempuh jalan ini, mereka bersedia menahan hawa nafsunya, apa yang dilakukannya dilandasi oleh perasaan ikhlas menjalankan perintah Allah, mencari keridhaan Allah dan mengharapkan apa yang dijanjikan Allah, karena yakin dengan balasan baik yang disediakan Allah.

Sifat merendahkan diri di hadapan Allah tumbuh di atas landasan iman, mereka lebih mengutamakan pahala yang ada di sisi Allah daripada memperturutkan hawa nafsunya. Mereka hanya takut kepada Allah, sabar, teguh, jujur dan tidak mengharapkan sanjungan dan pujian dari sesama makhluk. Apa yang mereka lakukan tidak menyebabkan kebanggaan dan munculnya sikap takabur (Qardhawi 2002).

Takabbur dalam jabatan adalah kemunafikan yang melahirkan kesombongan. Sebab itu jika diamanahkan jabatan ungkapan yang keluar dari bibirnya adalah”innalillah wainna ilaihi raji’un”, bukan berpesta pora dan bersukaria seperti orang mendapatkan rezeki dari hasil usahanya.

Takabbur jabatan adalah fenomena kesombongan berupa pengagungan terhadap diri sendiri yakni merasa bahwa dirinya lebih mulia dan lebih terhormat dibandingkan orang lain contohnya pemimpin merasa lebih mulia daripada rakyat biasa, pengagungan terhadap harta sepert orang yang berharta banyak lebih dihargai daripada orang miskin.

Oleh sebab itu sesungguhnya yang didambakan oleh rakyat terhadap birokrat dalam jabatan pemerintahan bukan sekedar menyajikan pertanggungjawaban berupa akuntabilitas administrative dalam hal penggunaan anggaran negara.

Pemberantasan korupsi hanyalah prasyarat bagi kemajuan sebuah bangsa. Sekedar baik dan jujur tidaklah cukup. Kita juga memerlukan integritas yang tinggi, akuntabilitas intelektual dan kompetensi dari penyelenggara atau pejabat negara. Karena persaingan antar bangsa tidak lagi mengandalkan seberapa kaya sumber daya alam sebuah negara, melainkan mencakup apa yang sering disebut sebagai intellectual capital, moral capital, dan social capital. Bangsa ini sangat kaya dengan asset budaya dan telah mampu melakukan ijtihad politik menjaga pluralisme agama dan budaya. Namun semua itu belum dikapitalisasi secara optimal bagi kebangkitan negeri dan kemakmuran warganya.

Akhirnya kita semua merindukan bangsa ini berdiri diatas kepercayaan diri, bermartabat dan disegani oleh bangsa lain. Kita semua mendambakan terrealisasinya cita-cita bangsa yang cerdas dan mampu melawan segala bentuk kezaliman dan pembodohan dan terhindar dari negeri jangan-jangan. Allahu’alam bissawab.

#Umum
SHARE :
LINK TERKAIT