Distrust Each Other: Refleksi Kritis Terhadap Legal Honesty di Indonesia
Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir, S.Ag. MH., Kakan Kemenag Anambas
Istilah Distrust Each Other (tidak percaya satu sama lain) hanyalah sebuah refleksi prediktif- filosofis terhadap gambaran supremasi hukum di Indonesia. Artikel ini ditulis bukan untuk menghakimi apalagi menjelaskan bagaimana supremasi hukum itu berjalan. Juga bukan untuk memberikan jawaban mana yang paling benar dalam setiap penetapan keputusan hukum. Artikel ini hanya refleksi kritis yang menyoroti nilai-nilai kejujuran hukum (Legal Honesty) dalam setiap penetapan hukum yang berlaku di Indonesia.Judul diatas sebuah konsep yang menggambarkan adanya sikap saling curiga atau saling tidak percaya dalam setiap keputusan hukum. Indonesia sebagai negara hukum tentu tidak diragukan lagi dalam hal ini. Namun jika kita melihat Indonesia dalam kontek politik hukum terkait dengan kejujuran hukum (Legal Honesty) menjadi suatu phenomena yang menarik. Sebab Indonesia sebagai negara yang berdaulat menyadari bahwa kunci keadilan adalah tegaknya kejujuran hukum. Supremasi hukum harus tegak dengan kokoh demi cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Berbagai kasus hukum yang menimpa banyak kalangan di Indonesia akhir-akhir ini, menjadi edukasi dan pembelajaran yang berharga bagi perjalanan politik hukum di Nusantara. Mulai dari kasus hukum yang menimpa para elit politik, para birokrat maupun yang menimpa masyarakat biasa.Para penegak hukum telah berupaya menegakan kebenaran dalam memberikan keadilan bagi rakyat. Namun aktualitas tersebut belum bisa menjawab tantangan hukum dan bahkan dianggap semakin carut-marut. Kondisi ini melahirkan perseteruan politik kepentingan yang menyuburkan prinsip saling tidak percaya (distrust each other) di kalangan elit politik. Akibatnya dapat memicu runtuhnya ikatan emosional kebangsaan di berbagai kalangan. Padahal selama ini dengan susah payah kita membangun mental kesantunan dan persatuan melalui sikap saling menghargai antara satu sama lain.Disamping itu beragam opini publik bermunculan, masing-masing dengan reaksinya yang unik. Masyarakat netizenpun turut berpartisipasi meneriakan protes dengan bahasa yang kurang mendidik. Namun, itulah yang terjadi di dunia digital saat ini. Mereka ingin mengekspresikan diri dan berbagi inspirasi, tetapi terkadang suara mereka diredam oleh kebijakan penguasa, meskipun Indonesia menjunjung tinggi kerangka hukum yang demokratis.Penegakan hukum dalam prinsip kejujuran hukum selalu saja tampil di tengah kerumitan politik dan benturan sosial yang menghadang. Sementara rasa keadilan selalu digaungkan dengan nada kontradiktif antara fakta dan realita. Semuanya tampil dalam bingkai mencari kebenaran untuk menegakan supremasi hukum yang belum berdaya.Netizen beranggapan bahwa nilai-nilai kebenaran telah sempoyongan dan tak berdaya menghadapi arus, walaupun kebenaran terus di kibarkan, tetapi belum menunjukan hasil yang mengembirakan, karena nilai kebenaran itu tumbuh dalam ranah kekuasaan politik yang kaku. Kebenaran tidak berdaya membangun kejujuran politik karena dikalahkan oleh kewenangan dan kekuasaan. Kuatnya kekuasaan menjadi dinding tembok yang tak tergoyahkan sehingga dengan mudah menginjak-nginjak rasa keadilan dan nilai kebenaran dan kejujuran hukum.Mimbar media sosial terus-menerus secara konsisten mengadvokasi berbagai jenis penegakan hukum dan keadilan sosial yang masih dianggap belum ditangani secara memadai. Meskipun penegak hukum telah bersungguh-sungguh menegakkan fungsi dan norma hukum sebagai standar perilaku dalam hubungan hukum di masyarakat.Penegakan hukum dapat di interpretasi sesuai dengan kepentingan. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Walaupun penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.Dalam pandangan ini penegakan hukum secara eksklusif dipahami sebagai tindakan beberapa aparat penegak hukum untuk mengamankan dan memelihara penegakan hukum. Artinya aparat penegak hukum berwenang untuk menggunakan kekuatan daya paksa (coercive) jika diperlukan.Mempertegas Penegakan HukumMempertegas penegakan hukum adalah merefleksi ulang implementasi penegakan hukum dalam masyarakat. Penegasan ini dapat ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit.Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “the rule of just law”.Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Supremasi ObyektifSecara obyektif, norma hukum ditegakkan mencakup dalam pengertian hukum formal dan hukum materil. Hukum formal hanya berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan dan kejujuran yang hidup dalam masyarakat. Dalam persfektif yang lain, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan.Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, dalam hal ini Mahkamah Agung di Amerika serikat menyebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.Istilah tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata.Di Amerika saja yang terkenal dengan negara sekuler tidak memisahkan antara konsep hukum dan keadilan, antara hukuman dan kejujuran. Mengapa di Indonesia yang dikenal dengan Masyarakat yang berperadaban tinggi, yang religious dan menjunjung tinggi nilai budaya bangsa menegakan hukum terpisah dengan penegakan keadilan atau kejujuran. Hal ini terbukti dengan berbagai kasus penetapan hukum yang belum tentu terbukti melanggar norma hukum.Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi yang harus berjalan seiring.Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan.Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan di Indonesia, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Artinya kekuasaan diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan.Sejarah umat manusia telah mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan ini diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Pemikiran inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).Dengan perkataan lain, isu hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia “. Walaupun kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita belum berkembang secara sehat.Aparatur Penegak Hukum (Law Enforcer)Aparatur penegak hukum yaitu mencakup institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) sebagai penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.Namun, selain faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan ketegasan yang lebih menyeluruh. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upaya menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin tegak, jika hukum itu sendiri belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu: (i) pembuatan hukum (the legislation of law atau Law and rule making), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law) dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggung jawab (accountable).Disamping itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat pula dijadikan sebagai agenda penting yang dapat diperbaharui Dalam arti luas, the administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah.Jika sistem administrasi kurang jelas, bagaimana masyarakat dapat memperoleh berbagai macam produk hukum? Jika tidak ada akses, bagaimana masyarakat dapat mengikuti peraturan yang tidak mereka ketahui? Meskipun terdapat konsep "fikti" yang diakui sebagai prinsip hukum universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform); dengan demikian, ketidaktahuan masyarakat tentang hukum tidak boleh diabaikan dan membutuhkan inisiatif sosial dan kesadaran hukum yang berkelanjutan. Dari titik ini, kepercayaan timbal balik terhadap putusan hukum dapat dipupuk, sehingga penegakan hukum dapat berfungsi sebagai sarana untuk meningkatkan kejujuran hukum dan integritas hukum di Indonesia.***