Ash-Shidq Wa Ath-Tha'ah, Tasawuf Milenial (Bagian 4)

Ash-Shidq Wa Ath-Tha'ah, Tasawuf Milenial (Bagian 4)

Oleh: H. Muhammad Nasir. S.Ag.MH, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kepulauan Anambas

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS:Al-Baqarah;177)

Dalam pandangan para ulama, generasi bangsa yang dicintai Allah SWT adalah generasi yang beriman dan mencintai kebajikan. Generasi yang telah mempersiapkan diri dan jiwanya untuk taat dan mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Mereka adalah para pemuda yang senantiasa berada dalam kebenaran dan ketaatan dan mereka inilah yang kita sebut sebagai “Ash-Shidq Wa Ath-Tha’ah”. Mewujudkan generasi yang benar dan taat adalah cita-cita semua bangsa. Maka dalam pandangan ahli tasawuf bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki generasi muda yang benar dan taat beragama. Sebab itu bangsa manapun di dunia ini pasti ingin menjadi bangsa yang besar, termasuk Indonesia yang kita banggakan ini.

Generasi bangsa Indonesia tumbuh sejak lama dan berkembang seperti bangsa lain untuk terus mempertahankan eksistensi kehidupan bernegara dan beragama sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai luhur yang dianutnya.

Secara normative-ideologis, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tercantum dalam Pancasila yang memiliki akar kultur-filosifis dalam masyarakat. Pancasila sebagai dasar Negara juga sebagai rujukan dan sumber transcendental sebagaimana dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari sila pertama Pancasila menjadi dasar tumbuhnya sikap ber-ketuhanan yang menjadi pondasi kesadaran spiritual generasi bangsa Indonesia.

Hal ini mesti diperkuat dan tanamkan pada setiap generasi muda serta kepada seluruh warga Negara melalui berbagai jalur dan jenjang pendidikan sejak dini, baik di rumahtangga maupun di sekolah, sehingga diharapkan melahirkan sikap ber-ketuhanan yang menumbuhkan rasa cinta pada kebenaran dan keta’atan. Mereka yang memiliki rasa cinta kepada nilai tersebut akan mendorong tumbuhnya generasi yang mencintai kemanusiaan, keadilan dan keadaban.

Nilai-nilai ketuhanan yang menjadi dasar perilaku generasi muda bangsa merupakan petunjuk suci yang mengalir dalam jiwanya. Secara personal petunjuk suci itu diharapkan menjadi komitmen peribadi yang sangat kuat berupa ketundukan secara total kepada Allah SWT.

Secara sosial-agama mengandung makna kebersamaan, semangat kolektivitas, yang mendorong sikap saling tolong menolong, saling manghargai, saling berinteraksi, dan saling melindungi serta saling mendukung satu dengan yang lain. Keta’atan agama mendorong nilai-nilai luhur sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan serta mengajarkan manusia pada kedamaian, cinta kasih dan sayang sesuuai dengan misi kehadiran agama (baca:Islam) di bumi ini.

Misi inilah yang sering sampaikan oleh Nabi SAW sebagai rahmat sekalian alam (Rahmatallil alamin). Ini adalah nilai kebajikan yang harus tertanam dalam kehidupan generasi muda bangsa sehingga secara religius generasi bangsa semakin mampu menunjukkan kualitas kesalehannya, baik kesalehan individu, sosial hingga kesalehan bernegara.

Lalu bagaimana nilai-nilai ini dapat tumbuh sehingga generasi muda bangsa ini kedepan dapat menjadi generasi yang tetap mempertahankan ketaatan dan peradaban mulia yang selama ini diimpikan?

Sebagai upaya menyelamatkan dan membangun generasi bangsa yang cinta kebajikan, ketaatan dan berperadaban mulia sebagaimana yang tersimpul dalam ayat (Qs;2:177) diatas, maka beberapa gerakan kebajikan yang sangat penting dan segera dilakukan diantaranya adalah:

Pertama: Meneguhkan nilai ketaatan dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya serta sayang kepada sesama manusia. Semangat cinta kepada Allah dan Rasul merupakan semangat dalam hubungannya dengan Sang Pencipta, yaitu keyakinan yang teguh yang ditandai dengan kesalehan individual.

Sedangkan membangun kecintaan dengan sesama manusia kepedulian sesama dalam memperlihatkan semangat kemanusiaan. Semangat ketuhanan melahirkan kesalehan peribadi atau individual, yang ditunjukkan melalui kepatuhan (devotional) dalam menjalankan doktrin atau perintah pokok agama seperti ibadah formal. Sementara semangat kemanusiaan melahirkan kesalehan sosial, yang antara lain mewujud (externalized) dalam bentuk empati, dan solidaritas social.

Generasi muda yang taat beragama adalah generasi yang dicintai Allah SWT. Mereka persembahkan masa muda dan kekuatan tubuhnya yang kekar untuk Allah, sebagaimana dalam salah satu hadits Rasulullah SAW, disebutkan: ”Tidak ada yang paling dicintai Allah SWT selain pemuda yang sudah Kembali kepada Allah;dan tidak ada yang paling dibencihi Allah selain orang tua yang terus menerus melakukan kemaksiatan.”(HR.Ahmad).

Untuk mewujudkan nilai ketaatan agar tetap teguh dalam kehidupan generasi bangsa, kita harus lari dari kenyataan banyak masyarakat yang memisahkan antara semangat ketuhanan dengan semangat kemanusiaan atau antara kesalehan individu dan kesalehan social. Maka sudah saatnya generasi bangsa ini beragama dengan totalitas, utuh dan menyeluruh sehingga ketika kita beragama kita juga ber-kemanusiaan dan ber-kemasyarakatan. Sehingga semangat ketuhanan dan kemanusiaan akan membangun kebijaksanaan yang memadukan unsur-unsur lahir dan bathin, personal dan social serta dunia dan akhirat.

Dari sinilah sebenarnya lahirnya nilai kebangsaan yaitu nilai universal ketuhanan dan kemanusiaan yang hendak ditumbuh kembangkan dalam masyarakat Indonesia yang selama ini menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang diikat dalam semangat keindonesiaan.

Kedua: Memperkuat formulasi kesalehan bernegara. Kesalehan bernegara lahir dari kesalehan individual dan social. Alfarabi, seorang filsuf muslim yang dijuluki Guru Kedua (al-Mua’allim al-Tsany) pernah menggambarkan kesalehan negara itu dalam bukunya yang sangat masyhur “Negara Utama” (al-Madinah al-Fadhilah).

Negara utama dalam pandangan al-Farabi, dipimpin oleh para filsuf dalam arti orang-orang yang memiliki ilmu dan wawasan yang luas, sehingga mereka memiliki kearifan, wisdom (hikmah).

Pemimpin tidak hanya menunjuk kepada kepala Negara, tetapi juga para menteri, dan semua pemangku jabatan publik (umara). Bahkan dalam pandangan al-Farabi, anggota masyarakat dan seluruh warga dari Negara utama haruslah orang-orang terpelajar yang dalam bahasa modern disebut “Knowledge Society”.(masyarakat ilmu).

Lalu apa saja yang dapat mendukung tumbuhnya kesalehan Negara: 1) Pilar pemahaman dan pengamalan agama yang menekankan tak hanya pada segi-segi formalisme (lahiriyah semata), tetapi juga pada substansi dan misi profetik (kenabian) dalam mengupayakan kesejahteraan bersama bagi umat dan bangsa.

Pilar tanggung jawab social dalam bentuk amar ma'ruf dan nahi munkar. Amar ma'ruf bermakna membangun system ketaatan dan menanamkan nilai-nilai yang dianggap baik dilihat dari segi agama maupun budaya. Sementara nahyi munkar, bermakna liberasi dalam arti membebaskan masyarakat dari berbagai kezaliman dan pelanggaran moral seperti korupsi,kolusi dan nepotisme.

Hal ini sangatlah penting terutama bagi bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa “soft state”, yaitu bangsa yang dikenal lemah lembut, toleran terhadap pelanggaran moral.

3)Pilar keadilan, sebagai usaha mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan bangsa. Setiap orang apalagi pejabat public wajib menegakkan keadilan untuk tujuan kesalehan Negara. Disamping itu perlu adanya kesadaran baru dalam pemahaman dan perilaku keagamaan kita, bahwa agama memang bertolak dari komitmen diri, dan harus berujung pada kebaikan bersama dan kesejahteraan sosial.

Dengan demikian untuk mewujudkan generasi bangsa yang berkeadilan sebagaimana dalam rumusan Pancasila, pemimpin bangsa ini harus menunjukkan ketoladanan yang baik mulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang dekatnya secara konsekuen dan bertanggung jawab. Tidak mungkin generasi bangsa ini tumbuh dengan mencintai kebajikan jika keteladanan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tidak terwujud dengan baik.

Sebab itu pemimpin negeri ini harus menjadi teladan dalam kebajikan yaitu ketoladanan dalam ketaatan, kesalehan, menghayati dan setia kepada kebertuhanan, kemanusiaan, keadilan serta semangat dalam menjaga persatuan serta menjunjung tinggi hikmah kebijaksanaan dalam membuat kebijakan public dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga: Memperkuat pendidikan kesalehan sebagai inti ketaatan. Tingginya ilmu seseorang tanpa dibarengi penghayatan dan pengamalan tidak cukup efektif mewujudkan seseorang menjadi baik dan taat beragama. Oleh sebab itu, pendidikan harus mampu menjadikan seseorang termotivasi untuk melakukan pembiasaan yang baik berdasarkan ilmu yang dituntutnya.

Karena itu Immanuel Khant (1724-1804) mendefinisikan pendidikan dalam dua makna yaitu makna khusus dan makna umum. Makna khusus pendidikan berarti pembiasaan dalam menjalankan prinsif-prinsif akhlaq, sedangkan dalam arti umum mencakup dua hal yaitu; 1) Pengajaran dalam arti menyampaikan konsep-konsep pengetahuan, 2) Menanamkan kebudayaan dan akhlaq dalam diri anak.

Dengan demikian pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu menanamkan kebiasaan berakhlaq atau perilaku keta’atan dalam kehidupan bagi manusia. Sehubungan dengan itu Alexis Carrel (1873-1944), seorang peraih novel bidang psikologi dari Prancis mengkritik sekolah-sekolah umum yang tidak memedulikan pendidikan akhlaq atau moral dalam proses pendidikan.

Menurut penulis, hal inilah yang seharusnya menjadi fokus dunia pendidikan kita saat ini. Akhlak adalah nilai tertinggi dalam tujuan beragama. Perilaku orang yang berakhlak sangat dicintai Allah dan Rasulnya. Generasi yang berakhlak meyakini bahwa kehidupan, kebahagiaan, dan kebajikan bergantung anugerah Allah SWT atas dasar usaha manusia.

Dengan demikian fokus kepada nilai-nilai akhlak adalah kunci kebajikan.

Setinggi apapun ilmu dan jabatan seseorang, jika tidak berakhlak tidak ada jaminan seseorang terhindar dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta kejahatan lainnya seperti; pembisik manis, bermuka dua, mengejar jabatan, suka judol alias judi online, penyelewengan jabatan dan banyak sederetan sikap dan perilaku tercela lainnya.

Sudah saatnya ukuran-ukuran akhlaq (ketaatan dan kesalehan) menjadi tujuan utama keberhasilan pendidikan di negeri ini. Jika tidak, kita khawatir tumbuhnya generasi yang mendukung prinsif-prinsif moral tetapi perilakunya tidak mencerminkan sikap ketaatan yang baik. Hal ini menurut ahli antropologi budaya disebut dengan “New Morality” yaitu lahirnya moralitas baru yang tidak sesuai dengan semangat ketuhanan dan kemanusiaan. Akhirnya kita tentu berharap generasi bangsa kedepan tumbuh menjadi generasi yang dicintai Allah SWT, dengan mencintai kebajikan, taat beribadah, berbangsa dan beragama. Aamiin.***

#Kepegawaian
SHARE :
Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin

Berita Terpopuler
LINK TERKAIT