Self Purity, Wara’ dan Nilai Kepribadian Orang Modern

Self Purity, Wara’ dan Nilai Kepribadian Orang Modern

Oleh: Dr.H.Muhammad Nasir. S.Ag., M.H., Kakan Kemenag Anambas

 

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan dirinya dan celakalah orang-orang yang mengotori dirinya" ( QS 91: 9 -10).

Ketika hidup ini sulit dikendalikan banyak manusia yang pasrah dengan keadaan. Tidak semua keinginan dapat terwujud dengan baik, lalu menyerah dan terkadang membanting emosi untuk putus asa dengan kenyataan.

 

Perubahan zaman secara nyata telah membawa manusia hidup dalam segmen sandiwara kehidupan yang semakin kelabu sehingga kebenaran yang pada awalnya jelas dan tegas berubah menjadi abu-abu dan was-was. Daya nalar kesucian batin manusia mulai pudar disebabkan tipuan kemilau indah kehidupan global. Dunia semakin glamor menggila menembus batas keangkuhan. Banyak manusia yang tidak punya pilihan lain kecuali mengagungkan keajaiban dunia modern yang menipu, padahal sifatnya hanya sementara belaka.

Nilai diri manusia diukur dengan segenggam dunia dan secangkir fatamorgana yang menjanjikan harapan tanpa tujuan. Saat itu para ilmuan mulai mengklasifikasi nilai manusia dalam kehidupanya. Perangkat nilai itu dijadikan standar perbedaan manusia dengan makhluk lainnya. Di dalam diri manusia terdapat sesuatu yang sangat petensial membangkitkan spirit kehidupan yaitu seperangkat nilai abadi yang mengangkat derajad dirinya di hadapan Allah SWT. Seperangkat nilai abadi itu berwujud taqwa yang tidak akan hilang di bumi tetapi dapat sirna di hati. Jika taqwa terangkat dari hati manusia, nilai-nilai luhur lainnya akan ikut tersingkir dalam jiwanya.

Menurut ahli tasawuf diantara nilai suci di dalam hati orang yang bertaqwa adalah wara’. Sebelum nilai ini kita jelaskan lebih lanjut, penting kita tegaskan terlebih dahulu bahwa semangat diri manusia dalam menjalani hidup ini sangat tergantung kepada benar atau tidaknya nilai yang di anut sebab itu jangan salah dalam memilih dan membangun nilai. Di era global banyak nilai yang telah mengalami perubahan, dan bahkan ada yang diterjang oleh nilai-nilai baru yang menyesatkan.

Nilai bukan saja membedakan tindakan manusia, tetapi juga sebagai pembeda eksistensi diri dan kepribadian. Di zaman Yunani, Plato membagi manusia berdasarkan tiga nilai yaitu keberanian, kesenangan dan kebijaksanaan. Nilai pertama dianut oleh prajurit, nilai kedua dianut oleh pedagang dan nilai ketiga dianut oleh para filosof. Dari sini berkembang lagi teori nilai menurut para ahli, umpamanya Spranger seorang ahli psikologi jerman, membagi tipe manusia berdasarkan nilai yang paling menguasai dirinya.

 

Pertama, manusia teoritis. Nilai utama banginya adalah menemukan kebenaran. Ia senang mengumpulkan informasi, menganalisis, mengkritik, menggunakan nalarnya. Ia tahan tidak tidur di malam hari ketika merenung atau membaca buku. Ia boleh menjadi ilmuan atau filosof.

 

Kedua, menusia ekonomis. Bagi mereka baik-buruk di ukur dari segi keuntungan. Perhatian utamanya pada pemilikan kekayaan pada materi yang dapat dilihat. Ia juga sanggup tidak tidur sepanjang malam selama ia mengerjakan sesuatu yang menghasilkan uang banyak.

 

Ketiga, manusia estetis. Bagi mereka nilai tertinggi terletak pada bentuk dan harmoni. Ia tidak perlu harus seniman, tetapi ia tertarik pada pengalaman-pengalaman artistic pada keindahan. Ia mau mengurbankan apapun untuk menikmati keindahan yang dikaguminya.

Keempat, manusia sosial. Ia meletakan nilai terbesar pada kasih sayang dan cinta. Demi persahabatan ia rela mengorbankan kekayaannya, bahkan keyakinanya. Ia tidak sanggup sendirian. Ia senantiasa ingin “in”. Ia menemukan kenikmatan dalam penghargaan dan popularitas. Umumnya manusia social itu simpatik dan menarik.

 

Kelima, manusia politis. Orang ini tidak selalu bekerja sebagai politisi atau penguasa. Siapa saja yang terutama sekali tertarik pada kekuasaan dan pengarush adalah manusia politis. Ia memproleh kenikmatan dalam mengalahkan saingan politiknya. Untuk kekuasaan ia bisa saja mengorbankan persahabatan, kekayaan dan keindahan yang ia senangi.

Keenam, manusia religius. Mereka memperoleh kebahagiaan dalam mendekati Tuhan, dalam berpadu dengan kosmos, dalam pengalaman mistikal. Ia tidak lagi terlalu menghiraukan kekayaan, keindahan, kekuasaan. Ia memandang semuanya itu sebagai hal-hal yang duniawi.

 

Dalam artikel ini penulis menawarkan bahwa untuk mempertahankan eksistensi diri agar kepribadian selalu terjaga dan terhindar dari nilai-nilai yang menyesatkan, maka manusia modern membutuhkan seperangkat nilai yang dapat menjaga kemuliaan manusia yaitu nilai wara’.

 

Dalam kajian tasawuf wara’ disebut sebagai maqam tingkatan perjalanan bathin menuju Allah SWT. Kita tidak menjelaskan tingkatan itu di sini.

Kata wara’ (waw –ra – 'ain) secara etimologi, berarti al-kaffu (menahan) diartikan juga dengan: al-'iffah berarti menjaga/menahan (diri), yaitu menahan daripada segala yang tidak pantas. (Al-Miziy, 1980). Sedangkan secara terminologi al-wara' diartikan dengan "menahan diri dari hal-hal yang diharamkan (al-maharim), jelek/keji (al-qaballahh).

 

Inilah yang menjadi makna asalnya, namun kemudian term ini digunakan juga untuk pengertian: Menahan diri dari hal-hal yang diperbolehkan dan halal (almubah wa al-halal). Menurut Al-Masriy dalam al-Ta'rifat diartikan dengan: Menghindari hal-hal syubhat, khawatir (kalau) terjerumus pada hal-hal yang diharamkan.

 

Manusia modern saat ini sedang berada dalam pusaran globalisasi. Perubahan nilai terus berjalan dan menjadi tantangan dalam kehidupan agama. Nilai agama yang sejatinya menjadi panduan moral dalam membendung syahwat manusia dalam hidupnya, malah ikut terseret dalam rayuan sahwat globalisasi yang memukau. Akibatnya kehidupan global menjadi tantangan tersendiri dalam menegakan hukum Allah (agama) secara kaffah. Keinginan masyarakat global didorong oleh luapan keserakahan dan terkadang menabrak nilai-nilai agama itu sendiri.

Agama (baca:islam) sebagai petunjuk nilai kebajikan bagi manusia, dianggap penghalang dalam memenuhi keinginannya. Manusia semakin ingkar dalam mentaati nilai moral agama. Keingkaran manusia menjadi syahwat globalisasi yang tak terbatas yang penting semua keinginan terpenuhi. Mereka tidak lagi memperhatikan halal, haram apalagi yang subhat.

 

Syahwat globalisasi telah menerjang nilai moral dalam beragama. Ia seakan-akan bebas dari pandangan nilai moral dan spiritual. Sehingga sesuatu yang dinilai haram dan syubhat tidak adalagi ada lagi dalam kamus kehidupannya. Bahkan terkadang diplesetkan dengan ungkapan;“halal, haram, hantam”, na’uzubillah.

 

Persepsi dan anggapan masyarakat seperti itu membutuhkan etika otononon secara peribadi dan kolektif untuk memperbaiki moralitas masyarakat modern. Untuk menjawab tantangan tersebut penulis menawarkan solusi untuk kembali memperkuat sikap wara’ dalam beragama. Seperti pengertian yang kita ungkapkan diatas bahwa wara’ adalah sikap kehati-hatian dalam mengekpresikan amalan ataupun tindakan nyata dalam beragama. Ia menjadi nilai yang sangat penting dalam menentukan pilihan dalam melalui tangga jalan kehidupan menuju Allah SWT.

Wara’ adalah nilai kesucian diri. Orang yang beriman mengukur keutamaan, makna dan gagasan serta tindakan dari sejauhmana mereka memperoses penyucian diri. Islam memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba menyucikan dirinya sebagaimana ayat (QS 91: 9 -10) diatas.

 

Keberadaan manusia sangat tergantung pada dirinya. Bagi mereka yang mempu mengendalikan ego atau nafsunya maka ia akan selalu berada dalam jalan kebenaran. Sejak pertama kali ujian eksistensi diri dalam sejarah perjalanan hidup manusia adalah ketika Nabi Adam as, diuji dengan godaan syahwatnya. Rintangan terbesar dalam perjalanan hidup manusia adalah melawan syahwat atau hawa nafsunya sendiri.

 

Perjalanan hidup manusia selalu berada dalam tantangan yang sangat berat. Perjuangan manusia untuk kembali melalui fase-fase yang telah ditentukan sangat jelas. Dunia hanyalah salah satu fase yang kita alami saat ini. Kongkritnya bahwa manusia diciptakan oleh Allah akan kembali kepada Sang Pencipta melalui fase alam kehidupan yaitu; alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam barzah dan alam akhirat.

 

Islam memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki keunikan dan keistimewaan tertentu. Manusia dalam perjalanan hidupnya, mulai dari dalam kandungan sampai manusia itu meninggalkan dunia ini alam terus berperan dalam hidup setiap manusia.

Secara tidak langsung alam ini merupakan guru manusia itu sendiri. Pandangan Islam tentang alam, manusia dan masyarakat, bahkan seluruh realitas alam jika dikaji secara lebih mendalam dan intensif tentu akan mengarah pada timbulnya problem mengenai filsafat atau pandangan hidup, muaranya juga merupakan subsistem dari filsafat pendidikan (Langgulung: 1986,3).

 

Melalui potensi yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, untuk menghadapi alam selalui berupaya agar bisa berdampingan dengan alam itu sendiri walaupun sebagian manusia dengan potensi yang dimilikinya alam ini menjadi rusak.

Manusia modern telah kehilangan nilai wara’ dalam hidupnya. Padahal manusia tanpa sikap wara’, akan mengalami kerugian. Ia akan kehilangan jati diri dan moralitas beragama. Akibatnya nafsu tidak dapat terkendali sehingga seluruh keinginan apa dan bagaimana akan mereka kejar dan dapatkan.

 

Mereka ingin populer, bagaimanapun caranya asalkan ngetop. Dunia maya dijadikan sarana untuk memperkenalkan produk kejahatan dengan sesnsasi sensual perilaku menyimpang dari adat kebiasaan masyarakat ataupun agama. Bagi mereka yang penting gue ngetop. Soal moral masalah belakangan, soal kejujuran itu masalah nanti.

 

Manusia yang kehilangan nilai wara’, akan menambah ruwetnya tatanan hidupnya. Lihatlah di sekeling kita saat ini, yang jujur hancur tersungkur, sedangkan yang curang berdendang memang. Yang bersih bakal tersisih, yang kotor dapat promotor. Berlomba baca Al-quran dapat piala, sedangkan yang konsekuen mengamalkan isi al-quran tak jarang malah dapat penjara.

Kenyataan seperti itu tentu tidak serta merta menyebabkan Sebagian kita lantas menyingkir dari dunia nyata ataupun maya untuk kemudian berimanjinasi merenung dan memutuskan kewajiban diri untuk ikut aktif di dalamnya. Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai wara’ adalah suatu kemestian bagi setiap orang agar jawaban dapat tersingkap.

 

Nilai wara’ akan menjadi mega energi mengubah dunia abu-abu menjadi dunia yang bersinar memancar menerangi lubuk hati yang hitam akibat dosa modernisasi dan syahwat globalisasi yang selalu menggerogoti moralitas agama manusia modern.

 

Kini dunia modern sedang menunggu pemain masa depan, yaitu anda yang sedang membaca artikel ini. Kita semua terlibat dalam permainan dunia yang pana ini. Kita adalah manusia yang diharapkan menjadi sensori masa depan yang menjadi teladan, menjadi manusia yang kuat lahir bathin, gagah amalnya, besih imannya.

 

Ingatlah bahwa sudah banyak ilmuan yang mencari solusi terhadap prablematik kehidupan dengan memandang manusia sebagai makhluk biologi semata. Umpamanya Ilmuan Barat yang membicarakan tentang manusia adalah Charles Darwin. Beliau memandang manusia dari sudut biologi melalui perbandingan manusia dengan hewan. Darwin berusaha melihat ciri yang ada pada manusia dan kemudian dibandingkan dengan ciri yang ada pada hewan. Hasil kajiannyatelah melahirkan teori evolusi (Abdul Rahman Embong 2003).

Akibatnya manusia banyak yang terjungkal kedalama paham yang merendahkan derajad kemanusiaan. Banyak teori lain sebagai rentetan teori evolusi, umpamanya muncul sarjana Barat lain yang membicarakan siapakah manusia, seperti Sigmen Freud dengan teori psikoanalisis (Robert D. Nye 1992), B.F. Skinner (1971) dengan teori behaviorisme, Carl Rogers yang cukup terkenal dengan teori fenomenologi humanistik (Robert D. Nye 1992) dan Abraham H. Maslow (1970) dengan hierarki kebutuhan.

 

Pandangan ilmuan tersebut hanya memandang manusia dari aspek fisik biologis tanpa menyentuh asfek kemanusiaan yang lain, seperti rohani dan sebagainya. Akibatnya manusia kehilangan salah satu nilai terdalam dari jiwanya yaitu moralitas spiritual berupa sikap wara’ dalam kehidupan. Nah, di tengah dunia yang sedang gelisah, kita membutuhkan sikap bathin yang kuat untuk menundukkan dunia yang rendah dengan meninggikan jati diri setinggi-tingginya. Energi bathin itu ada dalam sikap wara’ dalam beragama. Semoga kita termasuk orang modern yang berkepribadian wara’ dalam menatap dunia masa depan yang semakin mengglobal dan modern.Aamiin.**

#Umum
SHARE :
Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin

LINK TERKAIT