Bahasa Agama dan Ketegasan Iman

Bahasa Agama dan Ketegasan Iman

Oleh: Dr. H. Muhammad Nasir, S.Ag., M.H., Kepala Kemenag Kabupaten Anambas

 

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.”( Qs.Ali Imrann ayat;8)

 

Pada prinsipnya agama hadir ke bumi adalah untuk membangun harga diri manusia (kesujian jiwa). Setelah kejatuhan Adam dan Hawa ke bumi ketika itu manusia kehilangan martabatnya sebagai makhluk suci di hadapan Allah SWT. Sebab itu manusia modern menurut Maslow, sedang membutuhkan harga diri (self-esteem) yang telah hilang sehingga cita-cita luhur kemanusiaan dan petunjuk agama dapat digunakan menjadi ukuran aktualisasi puncak kepribadian manusia.

 

Dalam kehidupan modern, pergeseran nilai terus berubah diluar kesadaran iman. Manusia senantiasa terpedaya mengikuti rayuan nafsu globalisasi yang berbentuk“excessive egoism”, egoisme yang berlebihan. Nafsu globalisasi telah menguasai ideologi-ideologi modern. Martabat manusia diletakkan pada ideologi-ideologi modernisme yang memikat. Banyak manusia yang takut disebut kolot atau kuno karena tidak mengikuti ideologi-ideologi baru yang lahir dari rahim globalisasi modern, meskipun ideologi-ideologi tersebut jelas-jelas salah dan bertentangan dengan nilai-nilai agama.

 

Oleh karena itu, perlu ditegaskan kembali kekuatan nilai keagamaan dan keteguhan Iman, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi modern saat ini.

 

Artikel singkat ini akan mengulas langkah-langkah kongkrit untuk memastikan bahwa kontrak suci yang mendasar antara manusia dan Sang Pencipta tetap lestari sepanjang perjalanan hidup kita yang singkat ini..

Pertama, Rasionalisasi faham globalisme melalui bahasa agama.

Belakangan ini semakin banyak terdapat prilaku menyimpang sebagian masyarakat dan selalu menabrak nilai dan pesan moral agama. Menurut banyak pemerhati perkembangan sosial, hal tersebut terjadi disebabkan oleh faham globalisme yang merasuki jantung kesadaran iman manusia modern.

 

Paham globalisme adalah konsep yang sering digunakan untuk menyebut berbagai ideologi globalisasi. Sebab itu globalisme diartikan sebagai upaya untuk memahami keterkaitan dunia modern dan pola yang mendasarinya. Jika faham itu di dasarkan pada nilai agama, maka yang terjadi pemahaman agama sangat bersifat prifat atau peribadi, sehingga banyak dikalangan umat beragama merefleksikan tindakan perilaku prifatnya (private behavior) bertentangan dengan moralitas agama.

 

Umpamanya saja globalisme telah mempengaruhi ketegasan iman dalam Islam seperti ikut-ikutan dalam merayakan perayaan tertentu suatu agama di luar agamanya. Sejak dahulu sampai saat ini mengikuti cara-cara agama Yahudi dan Nasrani sudah dilarang oleh Islam. Dalam bahasa agama perbuatan ikut-ikutan menyerupai orang Yahudi dan Nasrani dinamakan dengan “Tasabbuh”. Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah SAW bersabda;

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

 

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031.

Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah, dalam Iqtidho‘ 1: 269 menyebutkan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)

 

Terhadap orang-orang yang ikut-ikutan sebagaimana yang dijelaskan di atas Rasulullah, saw, bersabda;

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

 

 

“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

 

Bahaya globalisme telah menjadi ancaman terhadap ketegasan iman masyarakat kontemporer. Untuk itu sangat penting melakukan ijtihad dengan merasionalisasi paham-paham yang timbul akibat globalisasi dalam masyarakat kontemporer.

 

Disamping itu intensitas komunikasi merupakan salah satu ciri masyarakat kontemporer. Manusia menggunakan berbagai simbol dalam komunikasinya setiap saat. Meskipun berbagai simbol komunikasi diciptakan namun bahasa merupakan sarana komunikasi utama dalam peradaban global. Paling tidak terdapat tiga faktor yang menyebabkan manusia menggunakan bahasa dalam masyarakat yaitu; faktor simbol, faktor komunikasi dan faktor tujuan. Dalam faktor simbol manusia menggunakan kata sebagai bahasa simbolik untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Dalam komunikasi sosial, manusia senantiasa berhadapan dengan makna-makna simbolik yang harus diterjemahkan kedalam bahasa agama karena manusia tidak terlepas dari pengaruh nilai agama. Manusia sebagai homo religious membutuhkan spirit nilai yang menjadi penguat keyakinan kepada Tuhan. Sebab itu manusia wajib membangun relasi sosialnya dengan inti iman yang diyakininya.

Disadari atau tidak, hampir setiap saat kita melakukan interpretasi terhadap apa yang dijumpai di sekelingling kita. Kita terlahir dalam gerbong waktu yang terus berjalan tanpa henti. Kita ikut berada dalam gerbong kehidupan yang ditumpangi oleh sekian banyak subyek dan peristiwa yang diangkutnya dari masa lalu dan masih akan melaju terus ke masa depan. Masing-masing hanya muncul dan menumpang serta berpartisipasi sebentar di dalamnya.

 

Dalam bilik waktu dan ruang tempat kita dilahirkan, sekian tradisi dan sistem nilai hadir memeluk dan mendoktrinasi kita tanpa terelakan. Mengutip pendapat Heidegger, bahwa Gadamer mengekpresikan kembali situasi manusia yang tumbuh ditengah budaya prasangka dan nilai-nilai yang setiap saat kita konsumsi.”It is not so much our judgements as it is our prejudices that constitute our beings”(“Bukan penilaian kita, melainkan prasangka kita yang membentuk keberadaan kita”) (Gadamer; 1994).

 

Alam pikiran dan emosi kita lebih banyak didominasi oleh warisan prasangka, bukan sebuah penilaian kritis hasil refleksi iman. Jarang kita mampu melakukan penilaian kritis terhadap realitas di sekeliling kita, termasuk benar salah kepercayaan agama yang kita yakini, karena kita sudah berada dalam kurungan nilai dan anggapan-anggapan yang dengannya kita memandang, menafsirkan, dan menjalani kehidupan modern.

Prasangka yang paling kuat datang dari tradisi dan simbol-simbol keagamaan yang terlembagakan dalam kitab suci, yang oleh Mohammed Arkoum disebut dengan The Closed Official Corpus dan Interpretive Corpus (Mohammed Arkoum;1994). Tradisi dan symbol keagamaan akan mempengaruhi tindakan seseorang dengan kuat dalam setiap aktivitasnya. Oleh sebab itu dalam pandangan ini bahasa agama adalah symbol keimanan dan taqwa yang dapat disaksikan oleh orang lain bagi diri setiap orang.

 

Bahasa agama menyimpan banyak nilai dan makna yang dapat mencerminkan seseorang menjadi lebih baik dan bersahaja. Di dalam bahasa agama terdapat iman, taqwa dan akhlak yang mewujud menghiyaasi kepribadian seseorang. Sebab itulah bahasa agama berbeda dengan bahasa lainnya. Bahasa agama adalah symbol spiritualitas yang mendorong seseorang berkomunikasi dengan cerdas (communication intelligence).

 

Menurut Ari Ginanjar (2020) kecerdasan ini dinamakan Emotional Spiritual Question (ESQ). Menurut penulis kecerdasan inilah yang semestinya dikembangkan terlebih dahulu dalam Pendidikan sebelum kecerdasan yang lain. Kecerdasan spiritual merupakan inti kecerdasan manusia dalam memahami dan merasakan serta menghayati makna hidup. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual akan senantiasa mudah menghadapi tantangan hidup yang rumit sekaligus. Umpama saja banyak orang modern yang tidak tahan menderita karena goncangan ekonomi lalu nekat melakukan kejahatan dan bahkan ada pula yang nekat bunuh diri. Hal tersebut terjadi karena kehilangan kecerdasan spiritual sehingga jiwanya tidak memiliki pilihan lain kecali bunuh diri.

Kecerdasan spiritual berfungsi untuk menghantarkan seseorang kepada pengenalan terhadap Sang Maha Pencipta. Sehingga mengetahui dari mana asalnya, untuk apa ia hidup, hendak kemana ia setelah hidup. Agama Islam mengajarkan fungsi manusia itu diciptakan adalah untuk mendedikasikan hidupnya hanya kepada Allah SWT. Maka dari itu proses pendidikan Islam menuntut bahwa kecerdasan utama yang harus dimiliki peserta didik ialah kecerdasan spiritual, sebab hakikatnya itulah yang menjadi tolak ukur kemuliaan seseoang dihadapan Tuhanya.

 

Bahasa agama menyimpan kecerdasan spiritual dan emosional sekaligus sehingga dapat melahirkan transendensi makna hidup bagi seseorang. Hidup menjadi berkualitas diatas keimanan yang kuat. Jika kecerdasan spiritual dan emosional dapat tumbuh dan berkembang dalam diri akan menyebabkan seseorang dengan mudah menjalin dan membangun relasi yang lebih hangat, manusiawi dan penuh kasih sayang sehingga yang tercipta bukannya hubungan yang berbentuk structural-vertikal, melainkan horizontal-kolegial dan networking yang sehat, maka kecerdasan spiritual dan emosional dapat menjadikan seseorang memiliki kemampuan menyadari dalam memaknai hubungan vertikal dengan khaliq dan mempererat kasih sayang antar sesama makhluk.

Bahasa agama dapat juga mendorong untuk mengendalikan emosi keagamaan. Ia menjadi cerminan terhadap kokohnya iman dan taqwa seseorang dalam kehidupannya. Sehingga internalisasi iman dan taqwa akan menjadi energi dan pembimbing seseorang dalam bertindak serta mengarahkan penyelesaian problematika kehidupannya. Untuk itulah kita selalu diminta untuk mempertegas iman dan taqwa setiap saat, sebabagaimana petunjuk QS.Ali Imran 102, yang selalu disampaikan para khatib saat berkhutbah. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (Ali Imran ayat 102).

 

Kedua, Me-rehabilitasi martabat kemanusiaan.

Salah satu dampak buruk globalisasi kontemporer adalah degradasi martabat kemanusiaan. Hal ini disebabkan oleh pemanjaan diri dalam kehidupan yang materialistik dan hedonistik. Globalisasi modern telah berhasil menggiring manusia ke cara-cara hidup yang hanya memuaskan kehendak egoisme dan hedonisme. Karena itu, nafsu tidak dapat dikendalikan. Satu-satunya tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kemewahan dan kesenangan dalam waktu yang singkat. Cita-cita manusia terkadang dilanggar atas nama ketenaran dan kekaguman. Semua itu pada akhirnya hanya merendahkan martabat manusia itu sendiri.

 

Kita menyadari bahwa di balik retorika bahasa modern terdapat pemanjaan egoisme yang merendahkan martabat kemanusiaan, dan terdapat paradoks pemahaman yang sulit dipahami. Sementara agama hadir di bumi membawa misi ketuhanan dan kemanusiaan agar manusia dapat menjaga martabatnya sebagai ciptaan terbaik. Namun, sayangnya banyak pula diantara manusia yang senang menginjak-injak martabatnya sendiri, walaupun ada di antara kita yang merasa malu ketika orang lain melakukannya.

Manusia modern masih memiliki kecenderungan untuk merusak martabatnya sendiri. Seakan-akan mereka telah kehilangan spiritualitas yang menuntun jiwanya yang suci. Padahal islam selalu mengingatkan setiap diri dan keluarga dari ancaman api neraka.“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Qs. At-tahrim; 6).

Ayat ini berfungsi sebagai pengingat bagi orang beriman dan manusia untuk senantiasa mengikuti ajaran moral agama mereka. Hal ini berlaku baik untuk kepentingan sosial maupun pribadi. Ancaman moral yang dihadapi manusia masa kini adalah ketidakmampuan mereka untuk melindungi diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka cintai dari daya tarik kehidupan duniawi dan godaan hawa nafsu.

 

Oleh karena itu, kita harus me-rehabilitasi martabat kemanusiaan kita dengan memperkuat ketaqwaan agar iman yang tertancap dalam dada dapat digunakan sebagai kompas moral dalam pergaulan sosial. Saatnya kita hancurkan egoisme kita melalui taubat yang sebenarnya sehingga kesadaran spiritual berfungsi kembali sebagai penguat martabat kemanusiaan kita.

 

Ketiga, Mempertegas makna keabadian jiwa.

Jiwa merupakan hakikat kehidupan dan spiritualitas. Para filsuf dan ilmuwan pada umumnya mendukung adanya keabadian jiwa, namun tetap sangat perlu untuk menegaskan kembali makna keabadian jiwa tersebut. Penegasan ini akan memudahkan kita untuk meyakini adanya kehidupan lain setelah kematian, yaitu kehidupan di alam barzah, surga, dan neraka. Manusia ibarat pohon, ia mengetahui waktu lahir, tumbuh, dan waktu kehancuran atau kematian. Pemahaman ini akan menghilangkan keraguan terhadap pengalaman beragama manusia modern.

Dalam Islam, firman Allah SWT, Hadits Nabi SAW, menjadi landasan keimanan bagi orang-orang beriman. Namun, jika ditelaah lebih mendalam, ternyata keyakinan akan keabadian jiwa melahirkan keimanan terhadap yang gaib. Hal ini mendukung gagasan bahwa sesuatu yang gaib dapat diyakini meskipun tidak terjangkau oleh akal manusia. Orang yang mengingkari keberadaan sesuatu yang gaib atau tidak kasat mata telah mengkhianati Allah sebab, Allah SWT adalah gaib dan tidak kasat mata.

 

Beriman kepada yang gaib memiliki nilai penting bagi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar dan bukti kuatnya keyakinan seseorang kepada Penciptanya. Selain itu kekuatan iman juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Secara psikologis, kekuatan iman dapat berfungsi sebagai penjaga diri atau motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri). Motif yang didorong keyakinan yang kuat dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan non-agama, baik doktrin maupun ideologi yang bersifat profan. Inilah makna keabadian jiwa yang menjadi tujuan agama di dalam Islam.

 

Ketegasan akan makna tersebut akan menghilangkan keragu-raguan dalam meyakini ajaran dan konsep agama sehingga manusia dapat meyakini agamanya secara utuh (kaffah) dan menyeluruh (komprehensif). Oleh karena itu, bahasa agama dan rasa keimanan yang kuat sangat penting bagi manusia modern untuk memperkuat nilai-nilai agamanya dan menangkal dampak buruk globalisasi. Lebih jauh, diharapkan agar nilai-nilai agama tidak bergeser oleh argumen-argumen modernisasi, seperti; demokratisasi, liberalisasi, tehnologisasi, transformasi, globalisasi, dan sebagainya. Allahu’alam bissawab.Aamiin. ***

 

 

 

LINK TERKAIT